Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Selasa, 18 November 2008

Cinta itu Coitus ?

(dimuat: Harian Batam Pos, Edisi 13 Agustus 2006)

Aku berasal dari sebuah kampung temaram yang sedikit agak tersingkir dari kemeriahan kota yang berkubang sinar pelangi malam hari. Setiap melihat atau mendengar secuil saja hal yang baru bagiku, sontak mataku terbelalak, mulutku menganga.

Aku sering digelari kawan-kawan baruku, “Orang udik yang heran melihat peradaban mutakhir”. Ada yang menyingkat, “Orang heran”. Disusul tawa terpingkal-pingkal. Tentu saja aku hanya bisa merespon dengan pipi sewarna tomat matang. Apa daya, mungkin mereka benar.

Belum sampai lima kali kalender berganti aku berada di daerah yang agak bermandi pelangi elektrik ini. Dibanding kampung asalku, daerah yang baru kutinggali ini lebih sering diocehi orang-orang, klakson, knalpot, mesin kendaraan dan sirine. Bahkan omelan itu berhamburan setiap hari, terlebih saat jarum jam hinggap di angka 7, 8, 11, 1, 2, 7, 8. Pada awal aku tinggal di situ, aku sering terbangun. Dadaku berdetak lebih kencang beberapa detik dari biasa. Tanpa ada apa-apa, alam bawah sadarku merekam ocehan-ocehan itu hingga sekonyong-konyong membuncah pada saat rembulan tiga perempat baya.

Setiap kejadian seperti itu, seketika kantukku melesat tanpa alamat. Kucari di lipatan diktat, kusingkap di balik selimut, kusibak di kelopak mataku, tetap saja kantuk itu sudah tak berbekas. Terpaksa aku seperti kera kehilangan ekor. Efeknya, kawan-kawanku cekikikan di kamar mereka. Cekikikan? Ya, dari sebelah kamar kosku pada suatu malam.

“Makanya, Ji, jadi laki-laki musti punya perempuan. Contohnya kami ini.”
“Untuk?”
“Ya untuk kalau tiba-tiba kau terjaga semacam itu?”
“Lantas?”
“Ah, kau ini udik betul, Ji Oji. Memalukan pergaulan!"
Memalukan pergaulan?
“Iya tuh, dasar udik kawanmu! Mana bisa hidup di kawasan berkelimpahan lampu!”
“Sssst.., jangan heran, my sweetheart, si Oji memang orang udik, orang heran!”

Aku tersipu oleh sapuan kata-kata itu. Gadis di sebelah kawanku tersenyum terus. Entah sudah terhitung berapa malam gadis itu mengungsi ke kamar kawanku (Mungkin kamar kos gadis itu tiba-tiba diterjang tanah longsor, angin topan, banjir bandang, badai besar, angin bahorok). Entah sudah terhitung berapa kali pakaian dalamnya dijemur di jemuran kami (Aku yakin itu punya dia, karena warnanya merah muda, berenda-renda dan bordir bergambar Desy bebek sedang tertawa ngakak). Entah sudah atau belum kawanku melapor ibu kos kami yang rumahnya di belakang kos kami.(Apa gunanya melapor?)

“Oji, kau sudah pernah pacaran?”
“Sudah. Tapi pacarku ada di kampung." (Aku memang punya pacar. Sungguh).
“Sudah pernah bercinta?"
“Ya jelas. Kami kan saling mencinta.” (Suaraku mantap!)
“Wah, ini dia! Suit suiiiiiiit!”
“Rupanya boleh juga kawan udik Mas ini. Agak sedikit lumayan modern deh.”“Bercinta begini? Make love? (Kawanku menyelipkan jempolnya di sela pangkal jari telunjuk dan jari tengah. Aku mengerti apa arti simbol itu sejak dari kampungku.)
“Bukan. Orangtuaku bilang, sebelum nikah resmi, begituan itu zinah, zinah itu dosa, dosa bakal dihadiahi belerang membara abadi. Masuk neraka. (Seperti juga kata guru agama dan budi pekerti di sekolah dasarku dulu. Ajaran guruku mirip kata-kata orangtuaku)
“Tertipuuuuuuuu!”
“Idiot sekali!”
“Ru-gi, you know!” (Pacar kawanku ikut-ikutan menimpali sambil tersenyum lagi)
“Betul-betul udik! Orang heran. Engkau tergolong orang-orang merugi, wahai myfriend.”

Aku tersipu lagi. Aku orang merugi? Apakah akibat orangtuaku dan guru agamaku yang membuat perintah keliru, kadaluarsa, kuno, tidak up to date? Perintah ngawur? Apakah juga suatu perintah moral harus dikeluarkan setelah melalui proses studi lapangan di lingkungan anak-anak muda lainnya? Aku tidak habis mengerti atas perbedaan ini.

“Eh, Oji orang heran. Camkan, baik-baik ya. Jaman kini cinta itu coitus.”
“Coitus? Cinta itu coitus?”
“Iya. Coitus itu cinta. Cinta tanpa coitus, itu bukan cinta. Cuma kawan bersapa.”“Coitus itu apa? (Kata coitus tidak pernah ada dalam perbincangan orang-orang kampung kami, tidak diajarkan di sekolah hingga kini aku berkuliah di fakultas Ekonomi)
“Ya seperti ini.” (Pacar kawanku memperlihatkan dua jarinya bertemu ujung membentuk lingkaran lalu jari telunjuk satunya masuk di tengah lingkaran kosong itu. Aku tahu apa arti simbol itu dari kawan-kawan kampungku).
“Kamu tahu artinya? Ihik lho.”Oh!

Aku terperanjat. Setahuku, di kampung kami, para perempuan tidak seenaknya seperti pacar kawanku itu. Tidak senonoh. Saru. Tabu. Porno. Bejat. Cabul. Pokoknya bisa disebut perempuan nakal. Bahkan kakak perempuanku, adik perempuanku, anak tanteku dan keponakan perempuanku tidak satu kali pun kulihat berbuat seperti itu. Apa mungkin keluargaku dan kampungku termasuk salah mengamalkan perintah? Aha! Mudik hari raya nanti aku akan bilang ke keluarga dan orang-orang kampung kami, bahwa ada perintah baru di tempat lain yang sesuai peradaban masa kini. (Mereka pernah bilang aku ini pembaharu).

***
bumiimajibabarsari, 6 november 2003

Tidak ada komentar: