Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Selasa, 24 September 2013

RAMBO



(dimuat di Harian SUARA MERDEKA, Minggu, 22 September 2013)



Ketika saya baru menguak gerbang pagar depan, baru selebar satu meteran, anjing kami langsung menyelonong. Di jalan baru satu-dua motor yang melintas di jalan aspal, dan di langit matahari masih malas berbagi terang dan hangatnya. Sementara motor istri saya sedang dipanasi mesinnya di teras samping.

Begitu sampai di luar, ia menggonggong lantas mengejar sebuah motor yang lewat. Serta-merta saya membentaknya, “Rambo!” Saya khawatir kalau Rambo menggigit kaki si pengendara atau orang yang diboncengnya.

Rambo berbelok ke arah gerbang lagi dengan buntut yang ditekuk menutupi pantatnya. Ia mendekati saya dengan muka tertunduk, sebentar menggeleng, dan buntutnya kipas-kapis. Segera saya menyuruhnya kembali ke teras.

*

Rambo adalah nama pemberian mertua saya untuk anjing kami itu. Anjing jantan, kekar, berbulu coklat merata, matanya jingga apabila tersorot cahaya pada malam hari, dan dari jenis anjing kampung. Ia anjing terakhir yang kami miliki setelah induknya mati tua, dan lima saudara kembarannya diambil oleh kawan-kawan istri saya.

Saya, apalagi istri saya, tidak mau memelihara anjing betina lagi karena, dari pengalaman adanya induk si Rambo, musim kawin anjing merupakan bencana bagi bunga-bunga kami. Sudah suara mereka yang cukup gaduh, ditambah dengan ulah serudak-seruduk semasa berebut mengawini induknya Rambo.

Pada musim kawin itu pot-pot kami berantakan. Anjing-anjing datang. Anjing dari keluarga toko Ajin, toko Alun, toko Bong Acit, Anemer Atung, Achiang si pengusaha tahu, dan lain-lain. Anjing-anjing itu menerobos sela-sela pagar tanaman (daun mangkok-mangkok, kenikir, teh-tehan, bambu jepang, dan lain-lain). Anjing-anjing jantan itu berebutan seolah anjing kami adalah anjing tercantik di dunia.

Selama beberapa hari, terutama pagi hari, selalu saja saya harus membereskan pot-pot yang bergelimpangan dan isinya tumpah-ruah. Tak ayal istri saya akan mengomel habis-habisan. Pasalnya, bunga-bunga itu bukan sekadar menjadi penghias halaman, melainkan juga kami bisniskan. Sebagian kami jual, dan sebagian lagi kami sewakan.

Kini tinggal Rambo. Tapi, ketika berusia enam bulan dalam ukuran waktu manusia, Rambo memulai kebiasaannya. Mengejar motor lewat di jalan depan rumah pada saat di antara kami akan pergi naik motor. Ia akan mendahului berada ke jalan, menggonggong sekaligus mengusir kendaraan yang lewat seolah membuka jalan bagi kami dan tidak boleh ada motor lain di jalan depan rumah kami, baik dari jantung kota Sungailiat menuju Pemali, Pohin lantas ke Mentok, Bangka Barat maupun dari arah sebaliknya.

Meskipun belum pernah terlibat kawin massal, keberadaan Rambo yang sudah lebih satu tahun di rumah kami, gelagatnya cukup mencemaskan, khususnya menurut istri saya. Pasalnya, Rambo telah membuat orang-orang enggan datang, baik hendak membeli baju atau kain maupun membeli atau menyewa bunga kami.

Karena itulah istri saya terpaksa berjualan keliling dengan sistem kredit, sekalian bisa bergosip dengan kawan-kawannya. Sedangkan saya bertugas di rumah. Melayani calon pembeli produk usaha kami. Di samping itu kami menambahi usaha pengadaan es batu, yang kebetulan bisa melayani dua-tiga warung di seberang jalan depan rumah kami.

*

Kampung tinggal kami, Sri Pemandang Pucuk, bukanlah kampung yang aman dari santronan maling, terlebih anjloknya harga timah sejak beberapa tahun terakhir. Nyaris seluruh rumah sudah pernah dijamah maling.

Apakah tidak ada orang yang ronda atau bersiskamling? Sama sekali tidak ada. Gardu rondanya, apalagi. Informasi seputar ronda dan siskamling hanya kami lihat di televisi, dan seringnya berita dari Jawa.

Mayoritas orang kampung kami adalah muslim, dan, tentu saja, tidak memelihara anjing. Najis, kata mereka. Demi rasa aman, jendela dan pintu rumah-rumah tetangga, termasuk rumah kami, dilengkapi dengan teralis dan pintu teralis.

Kendatipun begitu sekaligus memelihara anjing, saya pun sempat memelihara sepasang angsa dan pernah satu kali bertelor. Masalahnya, angsa suka menyantap daun-daun tanaman kami, termasuk bunga-bunga. Pernah saya buatkan kandang untuk bunga-bunga kami tetapi halaman depan rumah justru tampak kumuh. Lain itu, suara ributnya ketika diajak bermain anjing kami. Telor angsa pun tidak bertahan lama karena digasak biawak.  

*

Pada suatu siang matahari begitu beringas memanasi kampung. Jaenab, salah seorang pemilik warung makanan ringan di depan seberang rumah, datang untuk membeli es batu.

Ketika berada di muka gerbang, dia berteriak-teriak memanggil saya yang kebetulan sedang membuang air kecil. Justru di teras Rambo-lah yang menyambutnya dengan gonggongan yang nyalang. Saya percepat prosesi alamiah itu dan segera menuju gerbang. Tak lupa pula saya perintahkan Rambo diam di tempat.

Biasanya Jaenab cukup mengirim pesan singkat via ponsel dan saya sendiri yang mengantarkan es batu pesanannya. Kali ini malah datang sendiri, membeli es batu sebanyak empat bungkus. “Kehabisan pulsa, Bang Oji,” jawab Jaenab dari depan gerbang.

Saya langsung berbalik ke dalam, disusul oleh Rambo, dan mengambil empat bungkus es batu. Setelah itu saya antarkan ke Jaenab yang sedang menunggu di sana. Lagi-lagi Rambo mengikuti saya.

Jarak antara saya dan Jaenab tinggal dua meter saja, tiba-tiba Rambo menyelonong dan, hap! Kaki kanan Jaenab, yang kebetulan bercelana panjang tanggung alias sekitar lima sentimeter di bawah lutut, digigitnya. Kejadiannya tepat di depan mata saya. Seketika Jaenab berteriak-teriak kesakitan, saya terkejut sekaligus membentak Rambo.

*

Azan Asar sudah lewat setengah jam lalu. Setelah menghubungi saya supaya Rambo tidak seenaknya mengolah moncong, tiga orang kampung datang. Pak RT Samsuddin, dan dua pemuda yang bernama Fikri dan Manaf.

Kedatangan ketiga tetangga ini, tentu saja, dalam rangka penyelesaian masalah fatal dilakukan oleh Rambo, dan dialami oleh Jaenab tadi siang. Memang, tadi siang saya segera membawa Jaenab ke rumah sakit agar tidak terjadi hal-hal yang lebih parah lagi. Saya juga sempat meminta maaf kepada keluarga Jaenab, dan memberi uang untuk biaya berobat lagi.

Namun, masalah tidak cukup selesai sampai di situ. Rambo ternyata sudah sering meresahkan orang-orang kampung kami. Beberapa hal yang luput dari pengetahuan saya, Rambo pernah hendak menggigit anak tetangga yang sedang mengejar layang-layang putus di belakang rumah kami.

Rambo juga pernah menyebabkan kecelakaan di depan rumah saya lantaran seorang pengendara tidak mampu mengendalikan motornya karena panik dikejar Rambo, dan lain-lainnya, termasuk Rambo kencing sembarangan di rerumputan pinggir jalan, dan itu sangat najis.

Kedatangan tiga tetangga kami ini dimanfaatkan pula oleh istri saya, yang mengusulkan supaya Rambo dipensiunkan dini saja gara-gara tingkah-lakunya yang sudah terbilang “siaga 1”. Ditimpali lagi oleh Manaf, “Nah, istrimu saja sudah tidak kuat menerima ulah Rambo, Ji.”

Saya malah berpikir, kalau Rambo tidak ada, bagaimana dengan keamanan di rumah kami. Apabila terjadi kemalingan, siapa yang wajib dipersalahkan dan bertanggung jawab. Padahal selama ini, ketika rumah kami kosong karena banyaknya acara di luar, semisal saya ikut terlibat dalam pameran bunga di Taman Hiburan Rakyat Batin Tikal, hanya Rambo yang bisa diandalkan untuk mengamankan rumah dan bunga-bunga kami.

*

Saya sudah tidak asing melihat seekor anjing tergeletak tanpa detak jantung. Seekor anak anjing kami pernah begitu, tanpa jejak kekerasan dan darah, di dekat pagar rumah. Ada juga anjing kami yang ditabrak orang, alias korban tabrak-lari. Ada lagi yang dikerjain, dengan bekas lilitan kawat di sekujur kaki. Belum lagi batu-batu sekepalan tangan berserakan di teras pada beberapa pagi, hasil ‘kerajinan’ tangan beberapa remaja ketika malam.

Pagi ini anjing terakhir kami akan dieksekusi. Ia akan dipaksa menemui ajalnya. Tadi pagi, sebelum berangkat keliling kampung lain, istri saya menghubungi dua sepupunya, Udik dan Tonyol, yang suka berpesta daging anjing bersama kawan-kawannya, serta yang dari Kampung Jawa.

Saya tidak sanggup membayangkan apalagi melihatnya ketika kedua sepupu datang, dan merayu-rayu anjing kami untuk masuk ke jebakan berupa tali tambang sebesar kelingking. Begitu keduanya datang, saya langsung keluar rumah hingga keduanya mengabari bahwa proses eksekusi sudah sukses dilaksanakan dan kunci rumah diselipkan di salah satu pot.

*

Udara beraroma basah dalam remang lepas subuh. Beberapa kali terdengar suara lantang ayam jantan sembari menepuk angin di cabang pohon belimbing di kandang belakang rumah kami.

Saya terbangun, dan berniat membuat secangkir kopi bangka sebelum matahari pagi menghisap seluruh embun di dedaunan bunga. Pada saat itu saya merasa suasana yang sangat lengang. Saya seperti kehilangan salah satu anggota keluarga.

Biasanya, sedikit mendengar suara pintu terbuka dari arah dalam, Rambo langsung menggaruk-garuk pintu samping sembari menggonggong lirih. Biasalah, minta camilan sebagai bonus atas pekerjaannya.

Sruk! Sruk! Sruk! Suara garukan khasnya tiba-tiba kembali mengusik telinga saya. Seketika bulu kuduk saya berdiri.

*******
Balikpapan, Juli 2013

Minggu, 07 Juli 2013

JIN JENGKOL



(dimuat di Harian Sore SINAR HARAPAN, Sabtu, 29 Juni 2013)

Sambil menyantap sarapan nasi kuning plus telur dadar, saya berpesan kepada pemilik warung dekat tempat kerja saya, “Nanti siang semur jengkolnya disisakan kayak biasa, ya, Pak?”

“Tidak ada, Bang. Gara-gara harga BBM naik dan langka.”

Seketika terasa nasi berubah kerikil dan telur dadar berubah lempengan plat baja. Apa-apaan ini, pikir saya. Harga BBM naik dan mulai langka, jengkol malah langka terlebih dulu dari peredaran?  Ini sudah tidak keterlaluan! Sudah tidak nasionalis! Tidak NKRI-is!

“Subuh-subuh saya sudah keliling seluruh pasar, Bang. Rencananya sekalian biar bisa antri BBM pagi-pagi. Belanja bahan, beres. Soal BBM juga beres pagi-pagi. Tapi…”

“Terus?” celetuk seorang pria di belakang saya. Pria brewok yang tadi saya lihat dan hanya memesan kopi.

“Saya tidak tahu, Mas. Bisa jadi besok, lusa, minggu depan, dan entahlah… Jengkol belum ada kabar. Ini gara-gara harga BBM naik, Mas.”

*

Berita pagi tadi terasa paling tidak nikmat dalam seluruh acara sarapan apalagi sejarah kuliner saya selama ini. Juga mengusik konsentrasi kerja saya. Nanti, makan siang, lauknya apa karena jengkol tidak ada?  Cuma tempe? Kasihan banget, tempe tidak ada temannya.

Beginilah resiko di perantauan, di kota yang lumayan besar. Tidak seperti di kampung sendiri. Jengkol, atau jering dalam bahasa kampung saya, tidak sulit didapat. Di belakang rumah orangtua saya ada satu pohonnya, milik tetangga. Subur sekali.

Jering itu selalu tampil beda dan menggoda. Kulit buahnya keungu-unguan di antara segala hijau yang mendominasi. Ya, saya ingat, di sekitar pohon jering itu, ada pohon cempedak, rambai, rukem, jambu bandar, belinju, nangka, dan entah apa lagi.

Kebun itu seperti dipayungi. Rindang sekali. Tempat saya dan kawan-kawan sebaya SD saya bermain pada siang hari, sepulang sekolah. Koboi-indian, perang-perangan, gom kaleng, kejar-kejaran, balap-balapan, kelereng. Pohon-pohon itu pun kami panjati. Main rumah-rumah pohon, pesawat ruang angkasa, perang-perangan, bernyanyi dangdut, dan lain-lain.

Tapi pohon jering pernah menjadi cerita kami. Kata orang-orang tua di kampung kami, pohon itu ada penunggunya. Jin jering, namanya. Jin itu muncul menjelang magrib. Siang hari, mana ada jin? Kami tidak mengerti karena kami tidak pernah bermain di sekitar situ sampai kira-kira jam lima sore.

Waktu itu ada sarang tabun guci. Besarnya separuh guci atau galon air mineral. Warna sarangnya coklat tanah. Dengan betet alias ketapel, kami iseng-iseng menembakinya setelah gagal mencari burung liar. Lima kerikil melesat. Bus! Tembuslah dinding sarang tabun guci. Disusul lima berikutnya. Bertubi-tubi.

Tabun-tabun keluar. Warnanya hitam bersabuk kuning. Sebagian memeriksa dinding yang rusak. Sebagiannya lagi beterbangan di sekitar pohon jering, mencari musuh yang merusak rumahnya alias kami. Sontak kami berlarian ke segala arah demi menyelamatkan kepala dari sengatan di pantatnya.

Dalam pelarian kami ketemu tetangga, pemilik kebun. Tangannya melayang, nyaris terkena kepala kami. Kami tidak takut. Beberapa waktu kemudian kami mengendap-endap ke sana lagi. Menembaki sarangnya lagi, dan lari berhamburan lagi.

Beberapa hari kemudian hancurlah sarang tabun. Dari bawah kami melihat, sarang itu kosong. Tetangga kami, pemilik kebun itu, pun datang membawa satang berupa kayu sepanjang sepuluh meter yang disambung-sambung, dan ujungnya diselipkan pisau berposisi tegak-lurus. Dia menuju pohon jering. Tetangga kami pasti mau memetik buah jering.

“Katanya, jering itu ada penunggunya, Wak?”

“Iya, Uwak, jin jering. Nanti kalau marah, kami yang kena bala.”

“Tenang, jin jering sudah uwak taklukkan.”

Kami saling memandang sambil terkagum-kagum. Sakti juga tetangga kami ini. Kami ikuti saja ke pohon jering. Ya, kami mau membantunya. Mengarahkan, memungut, dan mengumpulkan di satu tempat. Begitu sudah banyak, masing-masing kami diberi beberapa buah dan kami jadikan baju kami sebagai tempatnya untuk kami bawa pulang.

Sampai di rumah, saya malah dimarahi emak. Getah-getahnya menodai baju, dan tidak bisa dihilangkan. Tapi, jering melumerkan kemarahan emak. “Rendam dulu, besok baru dimasak,” kata emak. Segera saya letakkan di ember bekas sabun colek.

Besoknya, jam satu siang sepulang sekolah, saya sudah menikmati lempah jering. Nasi hangat dan lempah jering. Betapa sedapnya! Alangkah lahapnya saya. Lantas, bermain lagi dengan kawan-kawan di kebun itu, di dekat pohon jering. Tidak peduli cerita orang-orang tentang jin jering.

*

Semur jengkol hangat, aromanya masyuk, dagingnya empuk, hmmm… Wajah emak selalu senang melihat kelahapan saya menyantap semur jengkol sebab saya tidak pernah merengek minta rendang, ikan panggang, atau sate ayam. Tiada satu daging teramat nikmat selain jengkol yang disemur, dan dilumat bersama nasi hangat.     

“Bang, ngelamun aja nih sampai dekat jam makan siang?”

“Oh. Sorry.” Saya kaget atas teguran rekan kerja saya dari arah belakang.

“Masalah nunggak kos-kosan, jangan dibawa-bawa ke kantor dong, Pak Oji!” tambah rekan saya yang perempuan. “Nanti kena SP 2, dikira kami yang ngadu ke bos.”

“Sorry. Sekali lagi, sorry.”

Benar-benar sorry. Rekan-rekan komplain. Pekerjaan sedang sibuk. Dokumen-dokumen harus disiapkan. Besok, sebelum makan siang, harus sudah masuk. Terlambat lima menit, sudah pasti gugur. Bagian saya adalah memeriksa redaksionalnya. Jangan ada kalimat yang keliru. Jangan ada hal penting yang ketinggalan. Mana semua berbahasa asing.

Kalau tidak selesai sampai sore, alamat mereka bakal lembur hingga larut malam. Tugas saya bisa saja selesai selepas magrib. Tetapi tidak begitu dengan rekan-rekan lainnya. Mereka harus mencetak, menyusun, menjilid, dan mengemasnya sebelum dimasukkan ke sebuah bank yang ditunjuk sebagai tempat pendaftaran dan pengumpulan dokumen tender.

Tidak terasa malah sudah… Menjelang jam makan siang? Nanti, makan siang, lauknya apa karena jengkol tidak ada?  Cuma tempe? Kasihan banget, tempe tidak ada temannya.

*

Selama satu hari ini, saya bekerja kurang fokus. Jam makan siang juga tidak saya manfaatkan untuk makan. Saya hanya berinternet, ngobrol dengan entah siapa saja. Selera makan siang saya lenyap gara-gara jengkol yang sedang ‘sembunyi’. Sangat menjengkelkan.

Selepas magrib saya pulang. Biasa, naik angkot. Ongkosnya sudah naik gara-gara harga BBM naik. Harga BBM naik, sama sekali tidak ada kabar apakah gaji saya bakal naik, atau tunjangan transportasi juga naik.

Ah, mana mungkin naik. Nilai tender tidak naik. Tadi saya lihat, tidak ada harga yang dinaikkan agar menang tender. Malah selalu diturunkan. Tender selalu begitu. Yang bernilai rendah justru jadi pemenang tender. Maka, pastilah nilai tidak naik bahkan turun, tapi ongkos lainnya naik. Perusahaan pasti nombok karena, kalau menang tender pun, pasti akan berpengaruh pada nilai tender. Belum lagi “setoran” untuk beberapa panitia tender, termasuk orang-orang kuncinya, yang malah minta “setoran komitmen” naik dari 20% menjadi 30%.

Ah, bukan urusan saya. Urusan saya adalah perut yang mulai menuntut gara-gara tidak makan siang. Ya, urusan kampung tengah ini bisa lebih mengganggu daripada memikirkan urusan “setoran komitmen”. Saya harus menenangkannya sebelum sampai kos lantas tidur.

Di warteg dekat kos saya menunaikan “setoran komitmen” dengan diri saya sendiri. Saya berharap ada semur jengkol. Tetapi harapan tinggal harapan, Harahap pun entah di mana kini.

“Tidak ada, Bang. Satu hari ini aku sudah keliling semua pasar.” Jawaban pemilik warteg mirip dengan pemilik warung dekat tempat kerja saya. “Pasti ada yang menimbun jengkol.”

“Menimbun jengkol, Pak?”

“Iya. Aku dengar sih gitu. Gawatnya lagi, Bang Oji, kini ada jin jengkol.”

“Jin jengkol? Apa lagi ini?” Diam-diam, sekilas, saya kembali teringat pada jin jering.

“Bang Oji, biar kata orang aku ini kampungan, soal jengkol aku sudah baca di koran.”

“Ada apa dengan jengkol dan koran, Pak? Apa jengkol jadi korban kekerasan dan kasusnya masuk koran?”

“Ya bukanlah, Bang. Tapi harga jengkol bakal naik lima kali lipat. Juga kini juragan jengkol tidak mau lagi jual di pasar-pasar kita. Sekalian deh mereka jual ke luar negeri. Kalau dijual ke kita langsung, tidak menguntungkan. Jin jengkol memborong dan menimbun jengkol.”

Selepas makan malam di warteg itu saya berjalan dengan gontai menuju kos. Hidup terasa semakin berat saja. Gara-gara BBM, jengkol menjadi korban. Mudah-mudahan, kalau kapan-kapan saya mudik, pohon jengkol tetangga masih tegar menghadapi godaan ekspor.

“Berhenti dulu!” cegat seseorang di keremangan. Langsung saya menoleh ke arahnya. Oh! Si brewok yang di warung dekat kantor tadi pagi. “Tidak usah mencari jengkol! Cari makanan lain! Jangan coba-coba demo soal jengkol kalau Anda masih doyan hidup!”

Saya tidak sempat menanggapi, si brewok sudah langsung pergi sambil memperlihatkan gagang pistol di pinggang. Jangan-jangan jin jering sudah pindah ke kota?

Belum selesai berpikir, ponsel saya bernyanyi lagu dangdut. Oh, dari rekan kerja saya.

“Halo?”

“Bang Oji, disuruh kembali ke kantor. Kata bos, banyak kalimat yang keliru!”  

*******
Balikpapan, Juni 2013

Sabtu, 21 Januari 2012

Arnold

(dimuat di Harian SINAR HARAPAN, Sabtu, 21 Januari 2012)

Matahari mulai menghangati dinding ruang tamu Oji yang kedatangan tamu, seorang pria paruh baya.

“Bos tahu sendirilah, aku selalu ingin membantu...“

“Tapi kali ini aku serius sekali wo, Pak Oji. Jauh-jauh aku datang….”

Air muka pria yang disebut “bos” oleh Oji itu memelas. Oji terdiam. Keheningan langsung mencengkram ruang tamu rumah Oji. Ia belum menemukan kata-kata untuk memenuhi permintaan tamunya. Ia tidak berani menjanjikan atau menjamin apa-apa karena persaingan kian ketat dan sengit. Ia memahami keadaan tamunya. Beberapa minggu sebelumnya Oji bertemu pria itu di sebuah klinik praktek dokter umum yang terletak di pusat kota kabupaten, atau puluhan kilometer dari kampungnya. Kebetulan Oji hendak memeriksakan kesehatan anaknya yang tiba-tiba sakit dengan suhu badan tinggi. Oji sempat khawatir anaknya terkena flu burung. Di sana Oji bertemu pria itu didampingi istrinya. Air muka pria itu tampak suram. “Papi tidak seperti waktu-waktu sebelumnya, yang selalu tersenyum lebar. Sedang depresi berat, Pak,” kata istri pria itu.

Dari istri pria itu Oji mengetahui persoalannya. Bisnis bangunannya sedang dililit hutang gara-gara konsultan tidak becus membuat RAB untuk proyek-proyek pemda. Ratusan juta duitnya tertahan di beberapa proyek walet yang sedang dilanda persoalan ijin mendirikan bangunan, sampai-sampai pria bermata sipit itu tidak bisa menyediakan bahan bangunan dan membayar gaji kuli-kulinya. Bahkan nyaris satu minggu pria itu mengungsi ke rumah seorang kepala polisi agar dirinya tidak diamuk anak buah dan preman-preman suruhan pemilik bahan bangunan. Seorang sinsang1) menyarankannya melakukan ini-itu untuk menentramkan perasaan dan pikirannya. Oji pernah ke rumah pria itu untuk mengantar keponakannya yang ingin menjadi kuli pada pria itu. Di sana ia memergoki secarik kertas bertuliskan huruf Arab tertempel di atas pintu bagian dalam. Kata pria itu, pak kiai bilang kertas itu untuk menjaga rumah dari pencuri atau orang-orang yang hendak berbuat jahat.

Selama lebih tiga puluh tahun, terhitung sejak menjadi kuli bangunan, pria itu menggeluti proyek bangunan, mulai dari rumah orang, perumahan karyawan PT Timah, masjid, gereja, balai pertemuan milik perusahaan minyak kelapa sawit, kios-kios, ruko, hotel-hotel walet sampai bangunan milik pemerintah daerah. Kini pria itu termasuk pemborong yang sering mendapat proyek-proyek pemda dan perusahaan timah berskala nasional. Ketika penambangan rakyat marak di tahun 2000, pria itu tidak tertarik untuk ikut membuka tambang, ataupun kini menjamur smelter2). Tidak ada urat tambang, alasan pria itu. Tetapi sekarang, saat matahari mulai hangat, Oji tidak bisa berbuat banyak untuk membantu sebab Oji bukan mitra bisnis pria itu. Keseharian Oji hanya berkumpul dengan ayam-ayamnya semenjak ia mengalami kecelakaan sewaktu masih bekerja sebagai kuli tambang rakyat itu. Kaki kirinya pun diamputasi.

“Kalau kelak Arnold menang,” ujar pria itu memecah kebekuan suasana, “hutang-hutangku bisa lunas. Pak Oji tahu ‘kan siapa lawan-lawan kita?”

“Ya. Tapi, Bos…”

“Nah itulah!” Pria itu menunjuk ke Oji dengan tangan kanannya yang di kedua jemarinya terapit sebatang rokok kretek. Kemudian ia menyedot hingga bagian dalam pipinya seolah ikut tersedot, matanya terlihat seperti garis melengkung. Dua-tiga percikan api meloncat dari bara di ujung rokoknya. Tak sampai lima detik, ia menghela asapnya secara perlahan.

“Tapinya gampang, Pak Oji.” Ia merogoh saku celana. Dikeluarkannya beberapa uang kertas pecahan seratus ribu, kemudian diletakkannya di atas meja. “Gampanglah. Ini sekedar uang doping untuk Arnold. Kalau menang, bereslah persennya.”

“Bukan soal dop…”

“Soal lainnya? Kelak kubantulah. Kita kenal bukan baru satu hari wo.”

“Kalau begitu, terima kasih, Bos. Mudah-mudahan Arnold bisa paham.”

“Ha ha ha… Bapak berilah pengertian pada Arnold.” Air muka pria itu telah berubah drastis seperti warna cahaya matahari yang terpantul-pantul di dinding ruang tamu.

“Ha ha ha…”

“Sebentar, Pak,” kata pria itu sembari merogoh saku bajunya, menarik HP, dan memijat angka-angka. Sebentar saja. “Halo, Pak? Saya jadi ikut. Dua? O, berani, berani. Lima pun aku siap! He he he he… Aturannya biasa, kan, Pak? Coba tanyakan ke bandarnya.”

Oji mengambil uang tersebut lalu dimasukkannya ke saku celana. Sempat terjadi pertentangan di batinnya; antara mengambil ataukah menolak. Kalau uang itu tidak segera diambilnya, Oji merasa tidak enak jika tiba-tiba seorang tetangga atau anaknya datang dan melihat jumlah uang tersebut. Masak seorang bos hanya mampu memberi segitu? Masak seorang bos tidak berani bertaruh dengan jumlah besar? Padahal orang mana tahu kalau uang tersebut bukan untuk bertaruh, melainkan semacam uang tanda jadi sebuah kerja sama. Atau kalau diambilnya, beban persiapannya semakin besar. Bagaimana kalau besok Arnold sakit, apalagi bayang-bayang flu burung masih bergentayangan dalam pembicaraan orang kampungnya.

“Okelah. Kelak malam aku hubungi Bapak lagi.” Pria itu menyudahi pembicaraan selulernya. “Itu lawanku, Pak. Pemain baru di daerah kita. Dia biasa main di Jawa dan Bali.”

“Mari kita lihat kondisi Arnold dulu, Bos,” tawar Oji seraya bangkit.

“Hari sudah siang, Pak. Aku harus kembali ke proyek. Anak buahku harus kuberi duit makan. Ini pun tadi singgah sebentar. Pulang dari bank, aku jadi ingat Pak Oji. Bayangkan saja, seratus kilometer aku datang, cuma mau minta tolong Bapak. Bapak ‘kan ahlinya.”

“Baiklah. Tunggu hari Minggu kelak, Bos. Yah, masih tiga hari lagi. Tapi satu hari sebelum Arnold bertarung, Bos harus ke sini lagi untuk memeriksa kondisi jagoan kita.”

***

Oji masih melamun di teras sepulang tamu paginya. Matanya seolah terbang bersama khayalannya, nanti kalau Arnold menang, akan diterimanya uang dari tamunya tadi. Sementara bebek-bebek Oji telah berkelana ke parit kecil di belakang rumahnya, meski di sana air terkadang keruh sejak tiga tahun ini. Sebelumnya sepanjang parit berpagar pepohonan rumbia itu dipakai untuk tempat mandi dan mencuci warga kampung. Jika malam, sering tempat mancing anak-anak kampung. Ada ikan gabus, baung, kelik, belido, betok, tepatung, dan lain-lain.

Kini sudah jarang sejak parit itu sering menerima hibahan air sewarna susu kopi dari aliran tambang-tambang rakyat atau dikenal sebagai tambang inkonvensional. Lahan-lahan yang dulunya dirimbuni tumbuhan liar serta pepohonan besar-menjulang, telah berganti menjadi galian dan timbunan tanah karena dibuka untuk tambang itu. Jaraknya sekitar seratus hingga beberapa ratus meter dari rumah Oji. Dari tepi jalan di depan rumahnya, bukit tanah itu tidak kelihatan karena tertutup rumah dan pepohonan. Alat-alat berat, semisal PC, pun sudah menjadi tontonan biasa bagi penduduk di daerah itu. Sedangkan jenis burung liar, misalnya puyuh, ketutu, punai, pergem, telagup, ayam-ayam, dan lain-lain tidak terlihat lagi.

Di pinggir parit terdapat tanaman liar; sejenis ilalang air, sangat subur. Juga beberapa ekor ayam kampung mencari makanan sajian alam, juga kadang minum. Sementara ayam-ayam bangkok, ayam kesayangan Oji, tetap di dalam kandang masing-masing. Jumlahnya tidak sampai dua puluh ekor dengan jumlah jantan lebih banyak. Sesekali muncul anak biawak.

Mendadak permukaan air bergolak. Tanaman liar bergoyang-goyang. Unggas-unggas itu berhamburan meninggalkan tepian parit dengan suara ribut. Lambat laun air kembali tenang.

***

Dendang kodok dan jangkrik menghanyutkan malam yang sempat disiram gerimis meski masih dalam bulan-bulan kemarau. Istri Oji telah bertamasya ke alam mimpi sejak beberapa jam lampau dengan memeluk guling kempes. Punggungnya yang berkerubut sarung berwarna pudar, mengarah ke Oji. Sementara mata Oji belum mau terpejam. Pikirannya terus berjalan ke mana-mana. Ia berencana, besok ia akan ke kelurahan, mengurus perpanjangan KTP-nya. Juga mengurus kartu C-1 untuk diperbarui. Tapi ia harus segera pulang sebab para petaruh pasti akan berkunjung ke rumahnya untuk melihat kondisi Arnold, lantas memasang taruhan.

“Keok!” Suara ayam mengagetkan Oji. Segera senyap. Sialan, kalau bukan biawak, pasti musang, umpatnya. Kalau pencuri, suara riuh ayam akan terdengar panjang.

Oji tidak beranjak. Biawak atau musang bukan masalah baru. Dulu ketika tanah-tanah di sekitar rumahnya masih hijau gondrong, binatang-binatang pemangsa unggas itu sering berkeliaran di kandang orang-orang kampungnya. Kalau berhasil ditangkap, mereka akan menjualnya kepada orang Cina. Entah untuk lauk, entah pula jeroannya untuk obat. Tapi ia tidak khawatir pada ayam jagoannya. Ayam yang berhasil dimangsa biasanya ayam yang suka tidur sembarangan, bandel, dan tidak mau masuk kandang ketika senja merekah di ujung kampung. Dalam satu minggu ini saja sudah lebih enam ayam dan dua anjing tetangganya raib tanpa jejak.

“Mmmmm… belum tidur, Pak?” tiba-tiba suara istrinya memenggal laju lamunannya.

“Ya. Susah ngantuk,” sahut Oji berat. “Besok, usai mengantar dagangan ke warung-warung dan mengantar Bedul ke sekolah, sekalian pulangnya Ibu beli makanan ayam, ya. Jangan lupa makanan khusus untuk Arnold. Suplemennya juga.”

Hening kembali. Pasti pikiran istrinya telah segera terbang lagi entah ke mana. Pikiran Oji berkelana lagi. Kali ini tertuju pada Arnold. Lusa Arnold akan berlaga. Lebih dari belasan pertarungan telah dilakoni Arnold. Hasilnya senantiasa memuaskan. Hadiah kemenangannya ditambah bonus atau ungkapan terima kasih para petaruh telah terbangun menjadi rumah dan beberapa perabot, termasuk seperangkat barang elektronik dan sebuah genset. Tapi lusa nanti Arnold akan dijajal musuh-musuh baru. Kata orang-orang, ayam aduan asli dari Ponorogo. Oji mengerti ketangguhan ayam-ayam aduan dari sana karena paman besannya berasal dari Ponorogo, dulu terkenal sebagai pemilik ayam jagoan. Arnold adalah keturunan ayam pamannya.

***

“Bagaimana kabar ahli ayam jagoan kita ini?”

“Waduh, Bos ada-ada saja.”

Keduanya berjabatan sembari berbalas senyum. Oji melihat ada semangat hidup yang terpancar dari mimik wajah dan gerakan tubuh tamunya.

“Bos mau duduk santai sambil ngopi mumpung hari masih pagi, atau langsung ke kandang, melihat-lihat kondisi Arnold untuk berlaga kelak sore?”

“Terserah tuan rumahlah.”

“Hehehe… masalahnya bukan terserah, Bos. Istriku keluar rumah sejak fajar, belum pulang. Biasa, tiap tiga hari sekali dia ke pelabuhan nelayan, beli ikan untuk bikin empek-empek, kemplang3) dan sambel lingkung4). Anakku juga sudah berangkat ke sekolah, sendirian. Aku sendiri yang akan membuat kopinya. Kita bebas sebentar, Bos!”

“Wah, jadi bujangan lagi ya, Pak. Tapi mending kita menjenguk Arnold dulu, Pak. Soal ngopi-ngopi, kelak kita ke warung saja. Siapa tahu di warung nanti juga ada yang nantang.”

“Kalau ada, pasti dia pilih jagoanku, Bos. Sudah dikenal. Tapi baiklah. Ayo ke belakang.”

Keduanya melangkah ke belakang rumah, dekat dapur. Di situ ada kandang berukuran 300 m2 dikelilingi kawat-kawat. Beberapa pohon liar dibiarkan tumbuh, di samping singkong, pisang, salak, enau, kelapa, rambai, jambu bol, dan sekerumun alang-alang. Ada kandang khusus berisi calon-calon ayam aduan. Juga kandang semacam ring untuk latihan bertarung.

Baru beberapa meter dekat kandang, beberapa ekor ayam kampung segera menyongsong kedatangan Oji. Namun Oji tidak menggubris sebab tadi pagi istrinya sudah memberi mereka makan. Ia dan tamunya mengarah pada sebuah kandang yang selama ini menjadi rumah bagi Arnold. Alas kandang itu adalah tanah. Sinar matahari masuk sebagian.

Dari jarak beberapa meter Oji melihat kandang Arnold kosong. Lho, ke mana jagoanku, gumam Oji. Tadi pagi ia sengaja belum memberinya makan karena ia ingin stamina Arnold siap, garang, dan lincah menghadapi musuhnya. Bobot harus diperhatikan. Kekenyangan justru melemahkan stamina.

“Rumah Arnold yang mana, Pak?”

“Mmmm.. masih di sana, Bos. Sebentar lagi. Atau Bos tunggu di sini dulu sambil melihat-lihat koleksi andalanku.”

Oji bergegas meninggalkan pria itu. Pikirannya tertuju pada Arnold, jagoan yang siap tarung sore nanti. Dicarinya di sekitar kandang. Diperiksanya setiap sudut kandang. Nihil. Justru ia menemukan sebuah kulit ular di sela-sela tumpukan kayu-kayu lapuk dekat sudut kandang. Bekas ular ganti kulit. Ditariknya kulit ular itu. Betapa terkejutnya Oji ketika panjang kulit itu mencapai lebih tiga meter. Oji merasa dengkulnya lemas seketika.

“Bagaimana, Pak?” tegur pria itu sambil melongok dari ujung kandang.

Oji menaikkan kulit ular itu. Segera tamunya menuju Oji.

“Ular sabak, Pak! Ular piton!”

“Coba kita lihat keadaan rumah Arnold, Bos,” ajak Oji tanpa menatap tamunya. Ia melangkah tergesa-gesa. “Tuh rumahnya. Yang dekat pohon jambu bol, Bos.” Tamunya mengikuti langkah Oji yang sudah mendekati kandang Arnold.

Sesampainya di kandang Arnold, tidak tampak Arnold di dalamnya, kecuali keadaan kandang yang agak tersingkap dengan berhelai-helai bulu Arnold tergeletak di tanah.

“Pak Oji, si Arnold…”

“Maaf, Bos. Maaf, Bos…”

Tanpa berbicara apa-apa lagi, pria paruh baya itu langsung meninggalkan rumahnya. Oji terdiam di depan kandang sambil mengutuk, “Hancur! Hancur! Matilah!”

*******

Sungailiat Bangka, 2006

Keterangan :
1) sinsang = Dukun/paranormal/dokter tradisional Tionghoa
2) smelter = Pabrik Peleburan Timah
3) kemplang = Kerupuk
4) sambel lingkung = abon ikan

Minggu, 06 Februari 2011

buku kumpulan cerpen pertama


-->
-->
BUKU : KUMPULAN CERITA PENDEK
JUDUL : DI BAWAH BAYANG-BAYANG BULAN
ISI : 12 CERITA PENDEK
KARYA : AGUSTINUS “GUS NOY” WAHYONO -- SI BUKAN SIAPA-SIAPA
TEBAL : viii + 106 HALAMAN
UKURAN : 14 CM X 21 CM.
SAMPUL : SOFT COVER
CETAKAN : I
TAHUN TERBIT : 2011
PENERBIT : ABADI KARYA, BALIKPAPAN (INDIE BOOK)
HARGA BUKU + ONGKOS KIRIM RP.35.000,-
Di tangan Gus Noy, realitas fakta dan imajinasi fiksi bisa saling menyalip tanpa harus ada batasan. Logika cerita, yang biasanya dipertahankan untuk konsistensi gaya, menjadi tidak penting. Antara realitas fakta yang betul-betul digarap secara realis, dengan perwujudan metafora yang merupakan simbol di balik fakta, bisa saja digarap dalam satu medan cerita tanpa harus ada penghubung logika yang jelas. Batasan antara teknik realis dan teknik surealis, menjadi tidak penting. Imajinasi pembaca diajak untuk mengabaikan aturan keduanya. (Kata Pembuka “Imajinasi Tanpa Tepi” oleh Joni Ariadinata)
Potret realitas yang disampaikan dengan meminjam peran Oji, dalam cerita-cerita Gus Noy, mungkin sebuah cara cerdik untuk tidak menyinggung perasaan siapa pun. Hampir dalam seluruh cerita pendeknya yang terhimpun dalam buku “Di Bawah Bayang-Bayang Bulan” ini mengandung ironi. Sang pengarang menyuguhkan suasana satire, sedikit sarkasme, dengan sisipan absurditas yang membuat kita terbawa arus imajinasinya dan – terkadang – berakhir dengan kejutan yang mengundang senyum. (Kata Penutup “Peran Oji untuk Sejumlah Kritik” oleh Kurnia Effendi)
Sekilas Kata Kawan-Kawan Lainnya :
MENARIK: membaca Oji yang membuat akucerita patah hati di satu cerpen dan masuk penjara di cerpen yang lain! (Bonari Nabonenar, sesama pengarang, tinggal di Surabaya)
Oji bermonolog tentang kehidupan sehari-hari. Kadang ironi sosial membuncah di sela-sela naluri gaib. Prosa yang memungut era kekinian tanpa lipstik yang berkecambah, tanpa bertendensi menjadi übermensch. Oji, tetap Oji, Sang Pencatat lingkungan. (Sigit Susanto, penulis buku “Lorong-Lorong Dunia”, tinggal di Swiss)
Barangkali secara sederhana bisa saya katakan bahwa Gus Noy sedang berusaha berbicara tentang realitas kerakyatan dengan bahasa rakyat; baik rakyat sastra pun rakyat luas pada umumnya. Kira-kira tawaran apa yang lebih baik daripada itu? (Wahyudianto “Cak Bono” Sonybono Didik EW, moderator milis Apresiasi Sastra, dan alumni Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya)
Cerpen-cerpen Gus Noy kebanyakan menyajikan aneka paradoks sosial dan ironi kehidupan dengan cara yang menarik, getir dan dalam. Kelebihan Gus Noy adalah kejujurannya bertutur tidak terjebak pada klise dan kenaifan. Dengan simbol-simbol dan metaforanya, Gus Noy tetap menjaga unsur “sastra” dalam cerita-ceritanya, namun para pembaca yang awam sekalipun saya kira masih dapat dengan mudah memahami amanat dari cerita-ceritanya. Boleh dibilang, Gus Noy adalah salah satu dari sedikit sastrawan Indonesia yang berhasil mengawinkan “sastra serius” dan “sastra pop”. (Iwan “Bung Kelinci” Sulistiawan, penulis buku “Miskin Tapi Sombong”, dan dosen STBA LIA Jakarta Selatan)
Perpaduan realitas fiksional dalam cerpen Gus Noy terasa menyegarkan dengan kesukaannya menampilkan semangat kebermainan yang konyol tapi menggemaskan. (Donny Anggoro, penulis buku “Sastra yang Malas”, novel “Cimera”, kumpulan cerpen “[…] dan Cerita-Cerita Lainnya”, tinggal di Jakarta)
Cerita-cerita Gus Noy memotret persoalan sosial-politik dalam bahasa yang lugas tapi tajam. Tanpa tendensi berlebih, justru dengan hasrat bermain-main namun serius, ia menjalankan strategi literer jitu yang jarang dicoba ‘ceritapendekis’ lain : kisah-kisahnya hadir kepada kita bagaikan karikatur (estetis, pedas terkadang kocak). (Sunlie Thomas Alexander, cerpenis & periset di Parikesit Institute Yogyakarta)
Saya rasa, Gus Noy termasuk cerpenis yang tidak tergoda pada euforia para cerpenis muda kita yang latah memuja pencanggihan linguistik. Gus Noy tetap menulis dengan bahasa yang wajar-wajar saja. Persoalan yang diangkatnya pun cenderung persoalan kemanusiaan sehari-hari, yang kebanyakannya diceritakan dengan irama datar. Ia seperti pencerita yang berdarah dingin. Bagi beberapa orang, cerpen-cerpen datar semacam ini mungkin dibilang kurang filosofis, kurang mengeksplorasi psikologi tokoh atau psikologi peristiwa, kurang dalam, atau apalah. Namun, kedataran cerita dan/atau kedataran cara bercerita adalah juga sesuatu yang sah dan memiliki kelebihannya tersendiri. (Amien Wangsitalaja)
======================================================
======================================================
Buku dapat dipesan langsung pada :
GUS NOY BALIKPAPAN (081213920967)
ALI AKBAR BANGKA (081377991655)