Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Sabtu, 22 November 2008

Danau Darah

(dimuat Harian Batam Pos, edisi 02 Februari 2008)

Pesawat menuruni puncak bebukit awan-gemawan setelah seorang interpreter menyudahi pemberitahuan tentang waktu, posisi pesawat, dan para penumpang diharap tetap mengenakan sabuk pengaman.

Aha, akhirnya saya kembali juga ke tanah kelahiran saya. Selamat tinggal tanah rantau. Selamat tinggal kenangan.

Angan-angan saya langsung melambung. Adik saya pasti sudah menunggu sambil melongok-longok dari kaca ruang khusus penjemput di bandara. Orangtua saya dan sanakkeluarga saya juga di rumah. Berkumpul dengan keluarga, bertemu kawan-kawan lama, berkenalan dengan orang-orang, bekerja, berkarya, kemudian bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis, berkeluarga, ber… lain-lainnya. Aaaah! Berdebarlah dada saya.

Pada hitungan menit selanjutnya sekonyong-konyong sesuatu menyongsong dan memberondong saya. Eh, apa-apaan ini? Sempat saya tanyakan pada seorang penumpang di sebelah saya mengenai hal yang barusan saya alami. Dia bilang, tidak mengalami apa-apa seperti yang saya alami. Mungkin memang saya yang sedang aneh. Ya sudah, biarlah saya sendiri yang aneh. Saya tidak perlu menamparnya supaya dia menjawab sesuai dengan keinginan saya.

Tapi saya benar-benar telah mengalami sesuatu di dalam pesawat ini. Pertama, ketika pesawat mendekati langit muram di atas pulau bagian selatan, sayup-sayup telinga saya menangkap suara…

Ah, saya belum yakin. Saya pasang telinga seraya meningkatkan daya dengar, kerja jaringan syaraf dan kemampuan otak menerjemahkan suara. Ok, beres. Semua dibawah kendali. Suara sayup-sayup terdengar agak jelas, semakin jelas, lebih jelas, dan... Oh! Semacam suara berirama nan menyayat syaraf rasa. Lantunan luka. Senandung duka. Nada nestapa. Gema kemalangan. Astaga!

Saya kira itu semata-mata kesalahan daya dengar, kerja jaringan syaraf serta kepekaan otak saya dalam menerjemahkan suara. Barangkali kondisi diri saya sendiri yang sedang tidak normal, entah lantaran telinga sarat kotoran ataupun pikiran terlampau sering dijejali film-film horor di televisi. Mungkin begitu. Kemungkinan lainnya dari luar, misalnya efek dari tekanan udara, dengung mesin pesawat, dan lain-lain.

Pada detak detik berikutnya sebuah aroma menohok hidung saya. Segera syaraf mengirim informasi ke otak saya, otomatis diolah dan diidentifikasi. Aroma anyir diselingi bau bangkai. Waduh! Tidak terlalu menyengat, tapi cukup mengusik. Dari manakah bebauan ini?
Saya menggerakkan badan untuk memastikan di mana sumber bebauan itu di sekitar duduk saya. Pakaian yang saya kenakan, kursi, bawah kursi, sela depan dan belakang kursi, sekitar jendela di sebelah kanan saya. Nihil. Bebauan merata. Tiada perbedaan kuat-lemahnya.

Ah sialan, maki saya. Bagaimana bisa pesawat nyaris mewah bermesin boeing ini membiarkan aroma tak sedap bergerilya sampai di hidung saya? Kalau gara-gara bau ini mengakibatkan para penumpang jera dan calon penumpang tidak berminat memakai jasanya, baru tahu rasa! Bisa gulung sayap. Bisa bangkrut betul. Bertambah pula angka pengangguran di negeri ini.Pesawat mendekati langit di atas daratan hijau berbukit-bukit. Pikiran dan perasaan saya berkecamuk. Angan-angan, suara-suara dan bau-bau luka. Saat-saat penting siap dicatat alam lembar riwayat hidup saya. Tapi, astaga! Apa pula itu di sana?!

Dari angkasa saya melihat pulau, yang dulu pernah memangku orok saya, ternyata kini disemaraki lubang sarat muatan berwarna merah serta aliran merah ke pesisir pulau. Terlihat jelas sekali. Merah semerah darah, bergelenyar, berkilau-kilau disiram sinar matahari. Daratan di sekelilingnya terburai. Hamparan hijau telah bolong-bolong. Gila!

Ah, yang benar saja mata ini! Umur belum 30 tahun, masak sudah rabun.

Saya mengucek-ucek mata untuk memperbaiki daya penglihatan saya. Tidak berubah. Lubang tetap sarat muatan berwarna merah darah, bergelenyar, serta berkilau disiram sinar matahari.

Tapi ketika pesawat semakin merendah karena akan mendarat, warna semerah darah itu memudar sampai benar-benar tidak merah lagi. Disusul suara-suara dan bau-bau luka menyingkir. Terdengar suara merdu seorang interpreter memberitahukan bahwa pesawat sebentar lagi akan mengakhiri perjalanan ini.

Di bawah sana lapangan membentang dan bangunan utama bergaya tradisional lokal dengan kedua sisi samping atap agak mancung dan genteng bubungan terdapat tonjolan di tengah dan kedua tepinya. Beberapa pesawat parkir, termasuk pesawat angkut militer berbadan besar, dan mobil-mobil bercat putih. Selain itu, kotak-kotak kayu bersegi panjang tampak berderet-deret, mengantri masuk ke beberapa pesawat.

Wah, makin ramai saja bandara ini. Calon penumpang berdesakan. Barang-barang besar menunggu waktu pengangkutan. Sudah saatnya diperluas, dibangun fasilitas-fasilitas berkelas, dan media nama bandara bersejarah bertulis “Depati Amir” itu pun diperbarui agar tidak lagi kusam dan beku. Sialan, saya malah jadi rewel begini!

Begitu pesawat mendarat, membuka pintu keluar, dan para penumpang menginjak permukaan lapangan, melangkah menuju bangunan penerima kedatangan sambil sebentar-sebentar menoleh ke arah kegiatan orang-orang di lapangan serta sesekali mereka saling bicara, saya terheran-heran. Kotak kayu persegi panjang, kalau saya tidak silap, itu adalah peti mati alias pesawat jenazah. Bukan layaknya peti-peti kayu berisi barang-barang ekspor. Apalagi mobil-mobil bercat putih bertanda “palang merah” dan bertulis “Ambulance”. Orang-orang di sekitarnya berwajah dingin.

Sesampai di ruang pengambilan barang, saya disambut penjual koran lokal. Beberapa penjual majalah dan TTS pun mendatangi saya. Saya membeli satu koran karena saya tiba-tiba tertarik pada beberapa foto yang dimuat di halaman muka. Barangkali ada berita-berita lokal aktual yang harus saya ketahui. Sementara penjual media cetak lainnya meninggalkan saya, dan mendatangi penumpang lainnya.

Belum sempat melihat cermat-cermat dan membaca beritanya, saya dikagetkan oleh colekan seseorang. Tak pelak saya menoleh ke arah orang tersebut. Rupanya kakak kawan saya. Tapi kondisi fisiknya tidak seperti ketika saya berkenalan setahun lalu. Kakak kawan saya kini memakai tongkat penopang bagi tubuhnya. Katanya, akibat suatu kecelakaan kerja di sebuah tambang inkonvensional. Saya tanyakan, dalam rangka apa dia kemari. Jawabnya, mengantar adik (kawan saya). Tapi saya tidak melihat sosok kawan saya yang diantarkannya. Dia menunjuk pada salah satu peti di deretan agak belakang. Ya Tuhan!

Kemudian dia menceritakan, adiknya atau juga kawan saya meninggal akibat tertimbun dalam lubang tambang pada Sabtu kemarin sebelum adzan Azar. Mayat berhasil ditemukan setelah nyaris enam jam pencarian. Kedua matanya penuh pasir.

Saya tahu sedikit mengenai kehidupan kawan saya itu. Setahun lalu kami berkenalan di… Ya, di ruang ini juga. Bersama kakaknya ini juga. Mereka berdua baru datang dari seberang, hendak mencari nafkah di tempat yang sedang marak di sini. Dia hanya lulusan SD, dan berasal dari keluarga besar. Adik-adiknya berjumlah enam orang. Dia tidak melanjutkan sekolah lantaran orangtuanya tidak mampu membiayai lagi (saya curiga, itu cuma alasan klise karena sebenarnya dia malas belajar secara formal dengan tetek-bengek tuntutan kurikulum). Hampir lima tahun dia hanya tinggal di sebuah kampung pelosok Jawa Tengah. Sempat bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik konveksi dengan gaji rendah, lalu menjadi tukang parkir di sebuah tempat bilyard dan judi terselubung. Bosan dengan semua itu, dia merantau ke sini berdasarkan ajakan kakaknya. Sejak tambang-tambang rakyat (sebenarnya milik pengusaha, pejabat tertentu, masyarakat ekonomi menengah) menggeliat pesat, dia ikut mengambil kesempatan.

Sebelumnya, melalui telpon sebelum saya pulang, adik saya pernah berkisah tentang perkembangan daerah kami. Kata adik saya, kegiatan menguras alam yang semula dimonopoli oleh perusahaan tertentu dengan risiko tertentu pula bagi birokrasi, beberapa tahun terakhir bisa dilakukan oleh rakyat. Sebagian besar rakyat yang semula tidak pernah tahu seperti apakah bentuk aslinya, kini malah leluasa melihat benda itu. Kebun-kebun dan wangi-wangi lada tinggal bunga-bunga bibir orang-orang tua kampung kami. Lada tak lagi jadi primadona. Pupuk mahal dan langka. Harga junjung semenjak hutan-hutan ditelanjangi habis-habisan. Timah kembali jadi candu seperti puluhan tahun silam. Namun benda itu seolah sebuah kutukan yang meminta nyawa, termasuk nyawa kawan saya.

Saya bayangkan, alangkah sedihnya istri, anak-anak dan keluarga besar kawan saya. Kawan saya merupakan anak kedua, dan sejak kaki kakaknya mengalami cacat tetap, kawan saya selalu menjadi tulang punggung bagi perekonomian keluarga besarnya. Keuntungan dari tambang inkonvensional itu selama ini cukup mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Kata adik saya, rumah kawan saya itu megah seperti rumah-rumah orang kaya di kota termasuk perabotnya. Tapi, menurut petuah orang-orang tua di kampung kami dulu, alam di sini bukan alam yang bisu-tuli, beku atau mati, melainkan alam yang hidup, yang bernafas, berperasaan, dan selalu menuntut tanggung jawab yang tidak main-main.

Tulalit suara ponsel dari saku kakak kawan saya memenggal pembicaraan kami. Air mukanya tegang. Mungkin ada masalah. Kemudian dia mohon diri, ada yang harus diselesaikannya. Saya persilakan.

Berita duka itu langsung mengangkat ingatan saya tadi. Ditambah beritanya muncul di halaman muka koran, lengkap foto lubang tambang yang telah merenggut nyawa kawan saya. Menurut koran, kecelakaan maut ini merupakan kejadian yang ke-sekian ratus kali semenjak rakyat (tentunya dimotori oleh pemilik modal besar sebab harga sewa alat-alat berat terhitung jutaan rupiah per hari serta perlindungan pejabat atau aparat tertentu bahkan didukung oleh sebuah peraturan daerah) diberi keleluasaan menguras isi perut bumi pertiwi. Kematian nomor dua terbesar setelah kecelakaan sepeda motor, kata koran itu. Di halaman berikutnya termuat pula foto-foto lubang tambang di wilayah lainnya.

Oh! Lubang tambang! Lubang-lubang tambang yang pernah diibaratkan sebagai kolam susu dan madu, tambang uang, dan istilah-istilah lainnya itu tiba-tiba menyeret ingatanku pada lubang-lubang berwarna merah darah yang tadi saya saksikan dari udara.

Saya amati baik-baik lubang itu… Astaga! Lubang itu lamat-lamat basah. Saya tersentak. Belum sempat saya membetulkan mata saya, basahan itu menampakkan warna merah semerah… Oh! Itu darah! Darah! Darah! Tak salah, itu warna darah! Lamat-lamat tercetak pula mayat-mayat mengambang, padahal dalam foto terlihat wujud tanah melulu pada lubangnya. Darah menggenangi seluruh permukaan lubang.

Bagaimana mayat-mayat bisa mengambang di situ? Gila! Kolam susu dan madu itu telah berubah menjadi… danau darah! Oh oh oh! Danau darah! Danau darah! Bau anyir dan busuk pun serta-merta menyambar penciuman saya.

Sontak saya menutup hidung dengan tangan kanan. Seketika suara erangan dan lengkingan pilu orang-orang sekarat mengiang-iang di telinga saya. Benar-benar kenyataan gila!

Jangan-jangan ada yang tidak beres antara mata, hidung, telinga dan otak saya. Jangan-jangan gara-gara saya terlalu lelah di perjalanan. Oh ya? Bisa jadi memang demikian.

Saya kucek-kucekkan mata agar daya lihatnya bisa normal seperti sedia kala, meski suara orang-orang sekarat tidak berhenti menggema dan mengiang. Juga saya pukul-pukulkan kepala saya supaya syaraf, posisi dan kegiatan otak saya berada pada kesadaran normal. Kemudian saya perhatikan lagi foto-foto tadi. Tapi tetap saja warnanya tidak berubah. Merah semerah darah. Mayat-mayat pun masih kelihatan mengambang. Juga suara-suara sengsara, bergema.

Satu lagi yang kemudian membuat saya sangat terperanjat, yakni darah benar-benar membasahi sebagian koran di pegangan saya. Lubang-lubang telah menjadi sumber mata air darah. Muncullah beberapa aliran yang langsung meluncur dari bidang koran menuju lantai berubin keramik cerah. Tes. Tes. Tes. Tes. Astaga!

Spontan saya sentakkan koran itu ke lantai. Plak! Halaman muka tetap tampil. Foto-foto lubang tambang terpampang lagi. Darah keluar semakin gencar. Lantai di sekitar koran itu berangsur digenangi darah. Terus, terus, terus. Ada pula aliran yang menuju tempat saya berdiri. Saya terpaku. Entah ke mana pikiran saya. Di sekitar saya, pandangan para penumpang, penjemput, kuli angkut, penjaja koran, sopir taksi plat hitam, beberapa karyawan dan satpam menyatu pada saya dengan sikap tubuh mematung. Mereka melongo.

Sewaktu ada aliran yang mencoba menyentuh sepatu butut saya, langsung saya melompat dan bergegas menjauhi tempat itu. Saya tidak peduli lagi pada barang bawaan saya yang belum juga kelihatan di tempat peletakan barang penumpang. Kayaknya arah orang-orang terpecah, antara ke diri saya dan ke koran yang nyaris mengapung di lantai.

Seorang ibu berusaha mencegat saya seraya bertanya, “Ada apa, Dik?” Saya jawab, “Ada yang gawat, tidak beres, betul-betul sinting di koran itu!” Dia menanyakan, sinting kenapa. Darah, Bik! Darah! Darah! “Darah apa? Di mana?” Coba lihat di sana, Bik! Lihat! Lihat! Lihat baju orang-orang yang membawa koran! Berlumuran darah! Darah di tempat saya tadi sudah menggapai alas kaki orang-orang di sana. Sebagian darah terus mengalir seolah mengejar saya.

Dia menoleh ke arah telunjuk saya, lalu kembali menatap saya dengan kening berkerut. Saya tidak peduli. Saya tidak mau berlama-lama berada dalam situasi begini. Saya segera bilang permisi. Kemudian menuju pintu keluar.

Ah, semoga di luar nanti adik saya sudah siap, segera membawa saya pulang. Namun gema orang sekarat dan lolongan luka terus menempel di telinga saya.

Begitu tiba di ambang pintu keluar, langkah saya terhenti. Halaman luar hingga jalan-jalan telah dibanjiri darah, bahkan semacam lautan darah. Orang-orang, kendaraan dan segala yang tidak tinggi terendam di sana. Darah bergerak-gerak mencapai bibir teras. Serta-merta bebauan menjijikkan menusuk paru-paru saya. Gema senandung sekarat dan lolongan luka terdengar jelas sekali.

***

Pangkalpinang-Sungailiat, 2005-2006

Perahu Yang Lelah

(dimuat Harian Batam Pos, edisi 06 Maret 2007)

Senja telah menutup kilau layar kuning-jingganya sejak delapan jam lampau, Kekasihku. Mataku tak kuasa mengelak putaran pikiranku, meski masih teringat pesan nyonya majikanku pada empat jam lalu, "Tidurlah, Mel, sudah jam dua, kamu harus istirahat lalu jam tujuh mengantarkan Aken ke sekolah."

Sampai dini hari aku masih duduk sendiri di sofa samping jendela apartemen ini, Kekasihku. Tak bisa kuhitung berapa lama aku di situ sambil menatap perahu-perahu yang bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga nun tampak di sana, beberapa kilometer dari apartemen majikanku ini. Ombak kecil memukul-mukul badannya. Siluet berbedak kunang-kunang elektrik gedung-gedung jangkung bergoyang-goyang. Separoh rembulan dan gemintang tergantung di atasnya. Sedang suara-suara geliat malam tak mampu menembus jendela kaca yang berada di lantai tujuh belas ini. Malam pun melarut dalam kesunyian, sesunyi hatiku kini, Kekasihku.

Tapi suara-suara tadi masih mengiang-ngiang. Ah, semakin sunyi hatiku. Suara-suara dalam kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak-anak muda beberapa tahun silam, dan tadi diputar oleh keluarga majikanku. Kisah cinta yang dilerai malapetaka yang berujung pada kematian si lelaki, dibintangi oleh Leonardo de Caprio, meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal congkak Tytanic. Ajal telah menjemput lelaki yang kelelahan dan terlalu lelap di permukaan samudera. Tragis. Namun sang perempuan tetap setia pada cintanya, walau helai-helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang kekal.Kesetiaan? Masih adakah?

Sebuah fatamorgana cinta yang kembali menampar kesadaranku tentang cinta. Apakah cinta itu, Kekasihku?

Masih ingat, nona sulungku, Kekasihku? Dia kini sudah punya pacar. Perempuan lagi? Bukan. Kini pacarnya laki-laki. Dia sudah tidak mau lagi berpacaran dengan sesama jenisnya. Tadi sore kekasihnya datang, lalu mengantar si bungsu ke sekolah. Ada kegiatan semacam pramuka. Ingat si bungsu, Aken, cowok kecil yang selalu merasa diri Spyderman tapi tiba-tiba bergaya kayak gadis di sofa panjang dan sedang dilukis dalam film itu? Pangeran kecilku itu pernah pulang dari kemping dengan mengaku tidak gosok gigi selama tiga hari. Bau naga! Sedangkan yang tengah, nona cantikku, kini berambisi jadi artis remaja, mentang-mentang umurnya sudah empat belas tahun. Aku sayang mereka, Kekasihku. Kecuali kau datang dengan perahu cinta, membawaku?

Cinta? Kekasihku, jujur saja, aku tidak sepenuhnya lagi percaya pada cinta semenjak pernikahanku hancur-lebur dalam hitungan dua tahun saja. Pernikahan yang memang tak kupersiapkan dengan cinta selayaknya, kecuali kuingin suamiku dulu mau membiayai kuliahku yang mengambil jurusan tanpa restu kedua orang tuaku.

Ya, mantan suamiku dulu anak orang kaya, namun ternyata tak bisa apa-apa. Waktu itu usianya baru 19 tahun, terbiasa manja. Sedangkan umurku waktu itu sudah 22 tahun. Kalau toh pernikahan itu kemudian membuahkan seorang anak, cinta sejati tidak jua hadir di tengah-tengah kami. Bahtera kami akhirnya karam. Kuliahku terlanjur kandas. Cita-cita menjadi sarjana sastra pun terkubur.

Aku memilih pergi ke luar negeri. Kutinggalkan anakku di rumah ibuku. Kutinggalkan taman anggrek kami. Kutinggalkan sawah ayahku yang cuma enam petak. Kutinggalkan koor katak-katak. Kini terhitung sudah tiga belas tahun aku di Negeri Naga. Baru dua kali aku mudik. Belum lama ini kuterima kabar, istri mantan suamiku telah melahirkan anak mereka. Terserahlah. Toh kini aku sudah menemukan laki-laki yang?

Apakah engkau juga pernah menonton film itu, Kekasihku? Apakah engkau juga bisa menangkap kesetiaan perempuan yang duduk di sofa panjang itu, Kekasihku?

Kesetiaan cinta? Masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena-mena mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara?

Mungkin engkau kini sedang menyimpan mutiara cinta itu, yang belasan tahun kupinta dari Tuhan. Belasan tahun, sejak tenggelamnya bahtera rumah tanggaku! Dalam usiaku yang berangka empat puluh, masih kucari mutiara itu di antara pria-pria yang kujumpai di dunia internet milik anak majikanku. Ingin kutunjukkan pada bekas suamiku bahwa aku bukan janda jelek yang selalu merana, merengek-rengek rujuk bersyarat tetek-bengek. Gigi-gigi depanku yang gondrong bukan kendala memalukan apalagi memilukan. Aku masih mampu mendapatkan penggantinya. Cara berpikirku pun lebih maju darinya. Dia wajib sadari itu!

Tapi, masihkah ada cinta sejati di dunia maya semacam itu, Kekasihku? Bilang cinta membabi buta lewat chatting tapi berkencan pula dengan gadis-gadis internet lainnya? Apakah asmara maya terakhirku ini denganmu layak kupercaya kesetiaanmu, Kekasihku?

Engkau tampan dan pintar, Kekasihku. Usiamu belum sampai dua lima. Pasti banyak gadis yang terpikat olehmu. Apakah kesetiaanmu bisa kuandalkan dan menjamin kesembuhan luka lara lamaku yang menanahi hari-hariku akhir-akhir ini? Bagaimana pula dengan laki-laki lainnya yang belum lama ini begitu nekat hendak melamarku ke rumah orangtuaku, termasuk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun dan masih beristri?

Pernah kubaca sebuah puisi pendek di sebuah antologi puisi semasa aku masih mahasiswi belia. Biarlah cinta bercahaya / Sinari jejalan hati percaya.

Perceraian kami memudarkan cahaya cinta itu. Kepercayaanku pada cinta pun entah ke mana hingga kita bertemu di dunia maya. Kuingin kembali menyusun puing-puing kepercayaanku pada cahaya cinta, meski tak akan segemerlap Kota Naga tatkala kelambu kelam malam membungkusnya.

Dan kesetiaan. Masihkah ada pada saat layar kaca dijejali oleh pemandangan para perempuan serba molek, serba binal, dan pertempuran birahi yang berapi-api? Apakah laki-laki masih berpegang pada kesetiaannya, meski kekasih atau istrinya sudah tak lagi jelita, apalagi aku, janda beranak satu serta wajahku tak cantik dan tak sesegar bunga baru mekar nan cerah-ceria. Kakek-kakek saja masih suka menggoda perempuan muda dengan bahasa gula dan janji madu, bagaimana dengan engkau, Kekasihku, yang masih segar-bugar?

Aku memang egois; menuntut kesetiaanmu, sedangkan aku masih mengais-ngais perhatian dari laki-laki lainnya di belakangmu. Tapi, walau lebih muda, engkau bisa mengerti kondisi jiwaku. Sekian tahun menjanda, sebatang kara di perantauan, dan malam-malam tertentu sepi hasratku dicekik oleh cekikikan kedua majikanku di kamar intim mereka.

Bukankah lumrah bila aku pun menginginkan suara cekikikan semacam itu, Kekasihku? Bukankah aku pernah merasakan hangatnya sentuhan jemari dan asinnya tetesan keringat laki-laki? Wajar, kan, kalau kini aku merindukan itu? Ingin kudapatkan itu lagi dari?Aaah? Selama kita menjalin kasih di dunia maya, hanya bisa kudengar deru nafas dan erangmu. Itu pun harus kupancing dengan rengekan manjaku menembus telpon genggammu.

Kemarin pagi aku menelpon ibuku di udik sana, Kekasihku. Beliau menyuruhku segera pulang, dan menikah lagi.

Menikah lagi? Semudah itu? Siapkah engkau? Siapkah keluargamu menerima kehadiranku, Kekasihku?

Aku belum berani lagi mengambil resiko, meski kusadari usiaku semakin rawan. Orangtuaku bertambah renta. Ayahku berumur lebih tujuh puluh tahun, daya dengarnya kian menurun. Ibuku sudah kewalahan membagi perhatian, apalagi mengawasi anakku yang kini sudah SMA. Untungnya anakku itu laki-laki. Bukan perempuan. Sehingga kalau aku menikah lagi, aku tak usah was-was atas perilaku suami baruku alias papa tirinya. Tak jarang di media massa online kubaca berita ayah tiri memperkosa atau mencabuli anak tirinya. Ah, laki-laki?

Tapi, kapan aku akan menikah lagi? Kapan aku akan menetap di udik bersama keluarga baru dan anakku itu? Jika gagal dan gagal lagi? Sejujurnya kuakui, aku malu jadi janda di udik. Berkeluarga di usia muda dan muda pula usia pernikahanku. Apa pula kata tetanggaku kelak? Apalagi kalau tiba-tiba aku bertemu dengan mantan suamiku dan keluarga barunya.

Aaah... di negeri orang ini aku bisa lebih tenang, Kekasih. Kita pun bisa bebas bercinta kapan saja kendati cuma lewat kata-kata dan suara-suara. Namun tak mungkin selamanya aku di sini dan begini. Ibuku juga sempat menanyakan, kelak siapa mengurus anak semata wayang itu, Mul. Oh iya, ya, siapa? Masak sih keluargaku lainnya? Bukankah aku ini mama kandungnya, kendati tak kurasa lagi ada ikatan batin dengannya?

Lantas, apakah aku harus memaksamu untuk menikahiku dalam waktu dekat? Sudikah engkau menjadi ayah untuk seorang remaja? Ah, engkau masih harus menyelesaikan skripsimu, Kekasihku. Belum lagi bagaimana tanggapan orangtuamu, keluargamu, kawan-kawanmu. Aaaah?

Memang salahku dulu. Berjumpa dirimu di internet, aku langsung tertarik, kudekati terus, dan kutelpon engkau setiap hari hingga pernah tiga kali sehari demi kelegaan hasrat sepiku. Lalu kita terlibat asmara membara. Engkau kian mencintaiku. Begitu katamu, dan sering begitu di saat kita mulai mendesah-desah.

Aku percaya padamu, Kekasihku. Karena memang selama setengah tahun lebih ini tidak pernah kudengar obrolan orang-orang internet tentang perselingkuhanmu, atau suara merdu perempuan yang mengangkat telponmu.

Engkau tipe laki-laki setia, kayaknya. Pernah pula beberapa kali kutelpon orangtuamu di pulau sana, walaupun tidak pernah kuberi tahu usia dan statusku. Suara ayahmu, ibumu, kakakmu, istri kakakmu, adikmu, dan pacar adikmu pernah mencandai telingaku. Sebuah keluarga ramah, sederhana nan setia. Mereka sangat percaya padaku, pada cinta kita. Mungkin karena mereka belum tahu asliku. Mungkin pula lantaran kau mahir merangkai cerita romantika meyakinkan.

Tapi, sekali lagi, apakah engkau itu sudi kuajak menikah dalam waktu dekat ini? Aaah? Aku tak berani bertaruh dengan angan. Kenyataan tidak segampang bicara via telpon. Apalagi kaubilang, tunggu gelar sarjana berhasil kau raih.

Atau aku menikah dengan laki-laki lain saja? Dengan yang sudah beristri tapi tidak peduli keluarganya? Atau, yang kini menduda setelah menceraikan istri keduanya dan meninggalkan bayi yang belum genap satu bulan? Bukankah mereka jelas berpengalaman dalam banyak hal jika dibandingkan denganmu? Tapi bagaimana dengan kesetiaan mereka?

Lagi-lagi kesetiaan, sebuah penghormatan terhadap kesakralan akad pernikahan?

Terus kupandangi perahu-perahu dan siluetnya bersandar di dermaga. Perahu-perahu di dermaga sana digoyang-goyang gelombang kecil. Tak jarang aku merasa diriku seperti dermaga itu, Kekasihku. Kapal demi kapal singgah, bersandar. Satu per satu lainnya bertolak, meninggalkan dermaga. Datang dan pergi. Terus dan terus. Tiada yang sudi menetap dan merapat dengan dermaga itu. Setiap ada kapal yang singgah, bukan hanya bahagia serta semarak kurasa, tetapi juga perih, perih sekali.

Tak pelak aku bertanya pada diriku sendiri, apakah dermagaku ini adalah pula akuarium atau ruang-ruang kaca semacam di mega mal. Mereka yang datang hanya melongok barang pameran, lantas pergi setelah mengangkat bahu dengan garis bibir cembung. Sebab aku yang buruk rupa dan makin tua ini memang tidak pantas menjadi barang pajangan. Kuyakin, engkau pun akan malu membawaku pada acara-acaramu, reuni-reuni sekolah dan ulang tahun kolegamu kelak.

Tidak. Aku bukan dermaga itu, Kekasihku. Melainkan seorang perempuan yang berdiri di dermaga cinta. Aku sedang menunggu perahumu datang dan membawaku pergi dari kesunyian di pulau kehidupanku sendiri. Perahu jiwaku telah lama kutambatkan di dermaga itu. Perahuku makin lusuh dilupakan waktu. Waktu melaju tanpa mau tahu. Bianglala yang semula membalut tubuhnya, tak lagi cerah.

Warna-warnanya berangsur gugur, terkelupas oleh masa dan jeritan batinku. Sedikit demi sedikit tampak kayu aslinya yang melapuk dan rapuh dirajah alam serta unsur-unsurnya secara membabi buta.Kini, sepanjang hari, sungguh-sungguh kunantikan sang waktu menggiring perahumu singgah semenjak kaunyalakan sinyal-sinyal jiwamu berlabuh di dermaga rindu, berjanji menjemputku. Sepanjang hari, sejak waktu itu, sejak kita bersepakat dalam cinta.

Entah sudah berapa kali sang ratu malam mengangkangi angkasa. Entah sudah berapa ratus pangeran fajar bergantian menyuguhkan segenggam harapan demi harapan. Entah sudah berapa banyak putri senja menghibur diriku di jendela beku gedung jangkung ini sembari berbisik bahwa esok selalu ada fajar berpijar dan senja kencana memancar kegemilangan di penghujung usiaku.

Kekasihku, apakah engkau benar-benar akan berikan fajar serta senja bagi hari-hariku dan menyinari jalanku melintasi sisa-sisa usiaku hingga kelak kujawab sepenuhnya panggilan Sang Kekal? Apakah engkau pun mampu melukis pelangi di pekat kelam malam-malamku supaya segenap hari-hariku adalah kesemarakan cahaya puji-syukur ke Hadirat Ilahi?

Di dermaga cinta, perahu jiwaku tak henti bergoyang-goyang, sedikit terombang-ambing oleh masa penantian yang sepi serta tak jelas kapan akan berakhir. Kuakui, diriku mulai jenuh, jengah dan lelah bersetia di dermaga cinta ini, Kekasihku. Aku ingin perahumu muncul di kaki langit Laut Cina Selatan, singgah, kau keluar dari perahu, tersenyum, membentangkan kedua lengan berototmu, datang, menggendong dan membelaiku secara nyata.

Tapi, ketahuilah olehmu, Kekasihku, di perantauan ini aku, Mulyani, meski keluarga majikanku dan orang-orang di sini memanggilku Meliani karena kelenturan lidah mereka berbeda dengan kita, mati-matian menahan diri agar kelak aku tidak mengoleh-olehi aib ke udik, tidak mempermalukan keluargaku dan anakku satu-satunya. Aku tidak mau seperti Atun, Oneng, Iyem, atau lain-lain yang sangat bebas mengumbar birahi bersama pria-pria asing di luar negeri, terutama dari negeri berkulit aspal. Juga aku tidak mau seperti Wati dan Tinah yang pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh anak haram jadah. Padahal aku pun perempuan normal, apalagi aku janda yang dahaga sentuhan laki-laki seperti yang pernah kurasakan.

Kekasih, bilamanakah perahumu melawat untuk merapat? Bilamanakah engkau akan menjemputku, menggendongku turun dari gedung jangkung ini, masuki perahumu dan ajakku arungi samudera kehidupan? Mungkin perahumu diam-diam, oh, merapat di dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang-malamnya dengan aroma kemudaan yang menyenangkan. Haruskah kualami terus dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu pujaanku?Kesunyian kian menghasut kesepianku.

Keluarga majikanku telah bermimpi sampai entah di mana seusai menonton film tadi. Sebentar lagi aku mau membereskan cucian keluarga majikanku yang tersisa. Sebentar lagi. Tidak apa-apa. Nyonyaku tak akan mengomeliku sebab seharusnya tugasku ini nanti siang kukerjakan. Keluarga majikanku memang baik. Aku jadi betah sejak pertama ikut mereka, biarpun aku tak lebih dari seorang babu. Nanti aku mau membereskan cucian itu. Aku belum ingin tidur. Belum mengantuk,

Kekasihku. Kisah film tadi mengajakku melayari angan-angan tentang cinta, kesetiaan, dan dirimu yang pada saat dingin dini hari ini entah sedang melakukan apa.

Dan seperti waktu-waktu lampau, setia kunanti perahu kasih sayangmu datang. Di ujung teluk sana mercu suar berkedap-kedip menggoda kerinduanku, menggoda harapanku itu. Kapal-kapal selalu hilir-mudik. Bila mentari membuka lebar-lebar jendela cakrawala, burung-burung camar kian menerbangkan anganku ke ranjang angkasa dan busa awan-gemawan bersamamu, menikmati keindahan langit biru sebiru cinta kita.Aku sungguh-sungguh mengharapkan perahumu segera melawat, merapat di dermaga itu, Kekasihku, lalu engkau melihatku duduk di sofa dekat jendela ini seperti perahu yang lelah di dermaga itu, engkau mengenaliku dengan daster ungu, gerai rambut panjang, dan kilau gigi gondrong lalu engkau melambaikan tanda hadir, tanda panggil.

O Kekasihku, lihatlah aku di dekat jendela ini. Sengaja kubuka kordennya lebar-lebar. Kunyalakan lampu terang-benderang. Lihatlah rambut panjang bergerai, gigi gondrongku memantulkan cahaya mercu suar, melambai-lambai, memanggil, hendak menggapai sejatimu.

Datanglah, duhai Dambaanku. Segeralah. Aku telah lelah. Letih batinku. Bawalah aku dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu, layari samudera hidup beserta berlaksa asa selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita tiba di pulau kebahagiaan abadi seperti impian muda-mudi. Oh, lelah kian dalam menderaku.

Angin dini hari menggigilkan belantara beton berkaca. Kupeluk hangat diriku sambil pandanganku tak lepas dari lampu-lampu di sekitar dermaga.

Kekasih, andai perahumu tak juga datang beserta selembar surat lamaran yang ditandatangani oleh orangtua kita, dan memang akhirnya harus kusadari bahwa kata-kata cintamu hanya halusinasi, mungkin harus kuterima ajakan naik perahu laki-laki lainnya yang betul-betul sudi segera membawaku berlayar, pulang, dan cinta kudapatkan pula. Sungguh, aku sudah tak tahan berlama-lama berlelah-lelah dalam kesetiaan penantian sepi ini, Kekasihku.

***

Makan

(dimuat Harian Batam Pos, edisi 11 Maret 2007)

Andai rasa lapar bisa dibuang ke sungai di belakang rumah hingga terseret ke laut di timur kampungnya, alangkah senang hidupnya. Makan tidak akan menjadi tuntutan paling serius bagi perutnya sehari-hari. Dan andai nasi sama seperti kerupuk alias sekadar variasi kosong, mendingan hari-hari dihabiskannya dengan bermain dan belajar saja.

Begitulah ia mengenang masa kecilnya ketika di rumah kakaknya ia duduk di depan meja makan yang terhidang sop buntut sapi, gulai kaki kambing, ayam kampung semur, ikan emas bakar, timun, selada, terung bulat, daun kemangi, sambal terasi, dan nasi satu panci baru keluar dari penanak nasi listrik. Sementara kakaknya mengambil piring, sendok, gelas, dan ceret air putih. Mentari siap beranjak ke atas bubungan rumah kakaknya.

*

Di kelas tiga SD ia, juga kakaknya, berhenti sekolah. Cukup bisa baca dan hitung, sudah bisa untuk cari duit, pesan emaknya. Yang bisa sekolah tinggi-tinggi cuma anak lurah. Sekolah tinggi-tinggi butuh duit banyak. Emak tidak punya duit banyak. Belum lagi menanggung sekolah adik-adiknya, yang kelak juga cukup sampai kelas tiga SD. Atau jika mendadak genteng bocor, dinding ambrol diterjang angin karena papannya lapuk diganyang rayap, beli sabun, odol, dan lain-lain, jelas semua butuh duit. Ia tidak tahu berapa biaya semua itu, kecuali sehari-hari bisa makan dan main.

Emaknya istri ketiga seorang tentara. Sehari-hari emaknya berdagang penganan goreng di warung mungil beratap daun kelapa bertumpuk dan berdinding anyaman bambu di depan rumahnya. Pisang goreng, bakwan tepung beras berisi seekor udang sungai, dan teh manis. Tak jarang ia dan kakaknya membantu emaknya. Saban sekitar subuh ia dan kakaknya digugah emaknya yang akan berangkat ke pasar, lalu ia menyiapkan kayu, menyalakan api di tungku tanah liat, dan lain-lain. Kemudian, ketika mentari telah bangun dari balik bukit sawah di ujung kampung, ia, kakaknya dan emaknya berjualan.

Tidak satu bulan sekali bapaknya pulang. Kalaupun pulang (tak lupa membawa setengah karung beras dan gula tapi tidak ada uang jajan untuknya atau juga untuk kakaknya), hanya dua-tiga hari di rumah. Dan jika berada di rumah, bapaknya lebih sering ?sembunyi? dalam kamar bersama emaknya. Giliran ia dan kakaknya menjaga warung sampai ibu-ibu dan gadis-gadis kampung berbondong-bondong ke sungai ketika mentari menyisakan sinar hangat di ufuk barat. Belum tentu sepulang berdagang ia akan menjumpai bapaknya karena bapaknya pergi lagi tanpa berpamitan. Jika malam bapaknya pulang, ia sudah tidur. Jadi, ia susah mengingat bagaimana rupa bapaknya. Yang paling diingatnya, emaknya sudah hamil lagi, lagi, dan lagi. Maka ia menjadi lima bersaudara. Sejak kelahiran si bungsu, bapaknya tidak pernah muncul lagi. Entah gugur dalam tugas, entah disekap istri tua, entah dalam pelukan perempuan lain, entah pula meninggal dunia karena sakit.

Suatu pagi emaknya mendapat berita dari ibu-ibu di pasar bahwa besok malam ada layar tancap atau ?bioskop misbar? di lapangan sepakbola kampung tetangga. ?Bioskop misbar? bukan hal yang asing. Tiap panen padi tiba atau ada hajatan kalangan pejabat kelurahan pasti muncul ?bioskop misbar?. Orang-orang kampungnya dan dari luar kampung akan berkerumun di lapangan yang telah dikelilingi dinding anyaman bambu setebal dua lapis. Sebelum senja, ia sekeluarga berkemas-kemas. Emaknya mempersiapkan diri dengan dandanan seperti hendak pergi ke hajatan pernikahan. Tapi ia dan keempat saudaranya tidak diperbolehkan ikut menonton karena, kata emaknya, buang-buang duit saja. Mereka harus menemani emaknya berdagang. Mereka mendapat tugas masing-masing, kecuali si bungsu yang meringkuk lelap di kain gendongan emaknya. Ada yang membawa meja kayu, kursi panjang, penganan, gula, teh, dan lain-lain.

Senja telah habis dilahap pepohonan di ujung kampung itu. Bulan dan bintang telah muncul meski agak terganggu oleh awan yang pekat. Di kursi panjang dari kayu ia sekeluarga duduk berderet. Sedangkan tiga kursi panjang lainnya diperuntukkan untuk pembeli. Apabila ada pria seusia emaknya mendekati atau sekadar lewat di depan lapak, emaknya akan merayu-rayu sambil memamerkan senyum bergigi indahnya. Minum ya, Pak. Teh panas, hangat, manis atau tawar. Ini pisang goreng enak, Pak. Coba saja satu, nanti bikin ketagihan. Sekali-sekali ia mencubit kaki kakaknya saking geli melihat betapa genit emak mereka.

Tiba-tiba emaknya bilang, kalian jaga di sini dulu, emak mau pergi sebentar. Ia dan kakaknya mengangguk. Emaknya bangkit dan pergi bersama seorang pria.

Belum setengah jam emaknya pergi, bulan dan bintang menghilang. Pisang goreng dan penganan lainnya masih banyak terbentang. Satu per satu penonton keluar, padahal layar tancap masih menayangkan cerita. Mendadak tampil halilintar membelah langit. Lalu suara gemuruh perang di angkasa. Ia sempat menggerutu. Kakaknya berjalan kesana-kemari bersama adik-adiknya. Emaknya tidak juga kelihatan. Para penonton mulai antri keluar “bioskop misbar”. Sementara suara air langit rontok terdengar dari arah pepohonan di ujung kampung tetangga itu. Halilintar menyambar-nyambar bumi disusul gemuruh perang berkepanjangan. Tak ayal “bioskop misbar” menggulung layar di tengah jalannya cerita.

Ia dan kakaknya kebingungan. Emaknya entah di mana bersama seorang pria entah siapa. Mau pulang, nanti emaknya datang, dan ia bisa dihajar (biasanya kakaknya paling mudah dihajar karena tidak mau lari). Ia dapat ide. Sembunyi di bawah meja jualan, dan kursi kayu disusun jadi atap darurat. Begitulah mereka menyelamatkan diri sejenak, kendati kelimanya menggigil hingga kuku membiru, dan kesemutan karena tampah penganan tetap dijunjung di kepala. Lalu ketika hujan reda dan situasi lengang sekali, ia dan adik-adiknya akan membawa pulang dagangan dan perkakasnya. Ia tidak peduli emaknya datang kapan. Keesokan hari emaknya pulang sambil mencangking beras seperempat karung, dan dua kaleng bedak murahan. Ia atau kakaknya tidak pernah bertanya, ke mana saja emak semalam. Sebab, ia sudah hafal. Emaknya selalu lepas-lepas saja meninggalkan rumah setelah menyediakan beras beberapa ciduk kaleng susu kecil di gentong. Dan ia akan memasak beras secukupnya, kemudian diberi air berlebihan. Sayur diambil dari mana saja, termasuk kebun tetangga. Dengan menjadi bubur, ia dan saudara-saudaranya bisa makan.

Suatu pagi jelang siang sebuah gerobak bubur kacang hijau lewat. Lidahnya langsung meliuk dan membasahi bibirnya. Air liur pun diteguknya dalam-dalam. Demikian juga kakaknya. Tapi ia tidak punya uang serupiah pun. Dilihatnya gerobak itu berhenti di depan rumah pak RT sekaligus guru agama di kampungnya. Kemudian tampak pembantu pria paruh baya itu keluar membawa piring. Pak RT terlihat sedang duduk santai di beranda. Tanpa pikir apa-apa, ia mendatangi pak RT. Ia minta bubur kacang juga. Pak RT mau membelikan, asalkan ia mau memijat kemaluan pak RT di balik sarungnya. Demi semangkuk bubur kacang hijau, ia mau melakukannya. Pertama-tama ia tertawa geli dalam hati karena kemaluan itu berubah ukuran ketika diremasnya. Maka setiap lidahnya pengen bubur kacang hijau, ia akan melakukan pemijatan lagi.

Sementara ketika mangga pak RT berbuah, ia dan kakaknya tergiur melihat buah yang ranum. Ia ingin memanjat. Kakaknya tidak berani. Takut ketahuan, dan khawatir pohon mangga sudah diberi ajian antipencuri. Kakaknya hanya mengintip dari luar pagar. Ia mengambil beberapa buah, memasukkannya ke baju kumalnya. Sampai di rumah kakaknya minta bagian. Hari berikutnya ia tersangkut di pohon dengan posisi kepala di bawah. Kakaknya tidak henti-hentinya mencium tanah sambil menyebut nama Tuhan dan minta ia diturunkan. Untung ia selamat, tidak kepergok.

Persediaan beras tidak bertahan satu minggu. Emaknya jarang di rumah. Ia dan kakaknya tidak bisa diam dengan perut lapar digoyang siang. Ia mengajak kakaknya pergi ke pantai di dekat kampungnya (kadang pagi-pagi ia pergi ke sana untuk mencari kerang di pasir pantai). Di pantai banyak kayu terdampar. Lantas ia dan kakaknya pergi ke sana, mengumpulkan kayu-kayu untuk ditukar beras di warung tetangganya. Selebihnya dibelikan sekantong kecil kacang goreng. Dibagikannya merata kepada kakak dan adik-adiknya. Jadinya sedikit. ia makan dengan cepat, ia merasa kurang. Dikoreknya lubang hidung, lalu kerak yang tertempel disodorkan pada kakaknya. Karena sangat jijik, kakaknya terpaksa memberi kacang goreng yang tersisa. Ia tersenyum dalam hati.

Pernah pula, lewat tengah hari, ia hendak melewati warung tetangganya tapi si penjual tidak kelihatan. Dipanggilnya nama penjual warung dengan suara lirih. Tidak ada sahutan. Ia tahu, si penjual pasti sedang terlelap. Perlahan-lahan ia mengendap-endap, lalu mengambil beberapa telur asin. Sesampai di rumah, saudara-saudaranya girang sekali. Suatu ketika ia mencuri telur asin lagi. Tapi tidak dibawanya pulang, melainkan sembunyi dan melahap telur asin curian itu di kebun orang. Agar tidak kepergok orang-orang, ia tergesa-gesa menelannya. Akibatnya, kuning telur tersendat di tenggorokan. Serta-merta ia berlari mencari sungai untuk minum. Lega.

Kemudian ia mencari keong di sawah-sawah dekat sungai itu. Di antara petak-petak sawah itu ada parit kecil mengairi sawah. Ia berhenti, membuka baju, lalu ia membendung parit itu. Air terbendung ia buang ke parit yang dasarnya paling rendah dan agak kering. Setelah air dalam bendungan agak kering, ia menangkapi ikan dan udang yang terjebak di situ. Ikan, udang, dan keong bersatu dalam bajunya. Ia pulang hanya memakai celana dalam. Saudara-saudara senang sekali karena mereka akan ikut menikmati seusai dimasak dengan pasir di atas tungku batu.

Demikian pula aksi lainnya. Suatu siang ia mengajak kakaknya ke pemakaman kampung, yang diketahuinya terdapat sebatang pohon jambu biji merah yang batangnya miring dan tepat di atas sebuah kuburan. Buah-buahnya matang menggiurkan. Semula kakaknya tidak mau ikut. Takut kualat. Tapi ia merayunya secara meyakinkan. Akhirnya kakaknya mau juga tapi dengan syarat : kakaknya tidak ikut memanjat. Sesampainya ia di atas pohon, angin bertiup agak kencang. Batang jambu biji meliuk-liuk seolah hendak membanting tubuhnya. Kakaknya panik. Ini pasti kualat, pikir kakaknya. Lalu kakaknya menciumi tanah kuburan itu sambil menangis-nangis minta ampun. Namun ia malah berteriak riang, senang bermain dengan angin. Sementara di suatu malam, di saat emaknya entah di mana, ia diajak tetangganya yang sudah remaja, mencari kodok hijau di sana. Lumayan ia memperoleh delapan ekor kodok berukuran besar.

*

Di ruang keluarga rumah kakaknya yang dilengkapi perabotan mahal, ia ngobrol bersama kakaknya seusai makan (ia tidak menghabiskan makanan di piringnya karena masakan kakaknya tidak seenak masakan yang saban hari dipesannya dari kedai bergengsi atau restoran) tentang emaknya di kampung yang kini beruban rata, bermata kusam, berkulit keriput tapi bergigi tetap rapi, dan tetap menjual penganan goreng di depan rumah.

Ia sempat bertanya pada kakaknya, apakah kakaknya masih ingat ke mana saja dulu emaknya pergi. Kakaknya menjawab, tidak tahu. Kakaknya hanya tahu serta terpenting, apakah hari ini bisa makan, dan besok makan apa lagi untuk mengusir monster lapar. Adik-kakak itu tertawa ngakak. Maklum, sekarang mereka sudah berkecukupan untuk makan sekeluarga. Suami (seorang satpam toko material) dan kedua anaknya juga tidak pernah mengeluh soal perut, selera lidah, pulsa HP, bensin motor, pakaian, apalagi kedua anaknya sudah dibuatkan rumah bagus di sekitar tempat tinggalnya. Rambutnya pun disemir merah. Berbeda saat pertama tiba di kota, ia seperti penjual jamu gendong.

HP-nya berdendang. Ia mengangkatnya. Di ujung sana seorang pria mengajaknya makan siang di sebuah kafe pusat kota. Tapi ia tidak bisa mengiyakan karena sedang berada di luar kota selama dua hari. Kakaknya mengira itu dari suaminya. Ia bilang, bukan. Itu dari pria paruh baya, pelanggan baru salonnya. Tapi ia tidak pernah cerita bahwa ada satu pria yang lebih sering mengajaknya pergi ke kafe kelas menengah, diskotik, karaoke, hotel, sauna, pantai, bahkan biaya sewa tempat untuk salon, bangun rumah kedua anaknya, beli dua sepeda motor baru, dan operasi hidung plastik diperolehnya dari “pelayanan istimewa”-nya kepada pria tersebut. Belum pria-pria lainnya lagi, yang jumlahnya melebihi jemari tangan dan kakinya, yang tak jarang mengajaknya pergi entah ke mana lalu pulang membawa voucher HP berisi ratusan ribu rupiah dan berbungkus-bungkus makanan kesukaan suami dan kedua anaknya.

***

Gang Jablay, 2006

Belang

(dimuat Harian Batam Pos, edisi 21 Januari 2007)

Pagi sudah pergi beberapa jam lampau. Panas meriap di atap rumah kami sembari menanti langkah Inah tergesa-gesa di tepi jalan aspal menuju rumah kami. Daster lusuhnya berkibar-kibar seperti hendak menyapu debu-debu di sekitarnya. Sementara di pojok halaman depan rumah kami, Ibu saya membersihkan tunas-tunas rumput liar yang mengotori sebuah pot kecil berisi kantung semar.

Seperti merasa ada sesuatu, Ibu menoleh ke jalan. Tak lama kemudian Inah muncul di depan pintu pagar. Tumben Inah baru datang jam segini, batin Ibu. Sendirian lagi.

Tapi Ibu pura-pura tidak tahu. Beliau berpaling kembali ke pot kantung semarnya di antara puluhan pot berisi bunga-bunga kesayangannya. Inah masuk seperti biasa. Merogoh kaitan kunci, membuka pintu pagar, lalu mengaitkan kuncinya kembali. Ibu pura-pura kaget seraya menoleh ke pintu pagar. Beliau melihat sosok Inah sekilas. Rambut ikalnya yang dipermak mirip bonsai tampak tidak teratur. Bibirnya menarik garis melengkung ke bawah. Bola matanya merah. Kantung matanya bengkak. Kondisinya semakin jelas ketika ia mendekati ibu.

“Tampangmu kenapa hancur begitu, Nah ?”

“Suntuk memikirkan Belang, Bu. Tadi malam sampai saya tidak bisa tidur. Mana sampai satu bulan ini Abu-abu juga sudah tidak ketahuan raib di mana.”

“Pantesan kamu sendirian. Memangnya ke mana dia ?”

“Kalau saya tahu ke mana, ya tidak saya cari, Bu.”

Ibu tersenyum saja. Beliau bisa memahami kondisi keseharian Inah yang telah kami kenal sejak setengah tahun menjadi tukang cuci dan setrika orangtua kami untuk paruh waktu, terutama ketika kucing-kucingnya mengalami masalah, semisal hilangnya Abu-abu. Sebenarnya Ibu tahu di mana Abu-abu berada. Menurut kasak-kusuk tetangga, Abu-abu dikarungi goni lalu dibuang oleh tetangga kami yang bekerja sebagai pedagang ikan segar dan ikan asin karena kucing itu kepergok mencuri sepotong ikan asin yang sedang dijemur untuk dijual. Memang, jika Inah lengah karena sibuk mencuci baju kotor sebanyak dua ember besar, Abu-abu sering menyelinap ke halaman belakang rumah tetangga kami itu.

***

Tentang perlakuan penjual ikan itu, bukan cerita baru bagi keluarga kami. Jauh-jauh tahun sebelum Inah pindah ke kampung kami, kucing kami pernah mengalami siksaan yang cukup berat yakni kaki belakangnya dijerat tali hingga nyaris putus. Penyiksanya ya penjual ikan yang genit, yang beristri tiga tapi masih saja suka menggoda gadis-gadis dan ibu-ibu itu. Gara-garanya, ya, mungkin sama. Kami berani menuduh demikian setelah mencium bau anyir ikan di sekujur tubuh kucing kami.

Ibu sengaja tidak memberi tahu Inah soal nasib Abu-abu dulu. Sebab, kalau beliau memberi tahu, bisa-bisa Inah memaki orang itu dengan sebutan “Anjing!” lantas ribut dengan tetangganya, dan ngambek beberapa hari, yang berarti pula banyak pakaian kotor Ibu bakal terbengkalai. Bukannya Ibu tidak mau mencuci sendiri karena toh ada mesin cuci di rumah kami, melainkan beliau tidak tega melihat Inah pusing memikirkan ekonomi keluarganya sejak ditinggal kawin lagi oleh suaminya hampir satu tahun ini. Kadangkala Inah membawa anak-anaknya menginap di rumah orangtua kami untuk menemani Ibu karena kami, anak-anaknya, sudah berumah tangga dan tinggal di rumah kami masing-masing yang rata-rata bisa ditempuh dengan dua kali naik angkutan umum. Sedangkan ayah lebih sering menginap di salah satu rumah kami, bergiliran, tergantung keinginan ayah bila kangen cucu-cucunya yang mana.
Memang cuma kucing-kucing kampung dan berbulu jelek. Sama sekali tidak bergengsi dibanding kucing impor semisal Angora. Tapi Inah sangat menyayangi mereka. Baru dua minggu ini Belang diajak Inah ke rumah kami. Di mana Inah berada, di situ pasti ada Belang.

“Ya sudah, sekarang kamu nyuci sana. Biar tidak numpuk, bikin kamu repot sendiri. Tapi hati-hati nanti nyetrika baju dalamku, Nah. Besok malam mau kupakai untuk latihan dansa.”

Inah tidak menyahut. Ia langsung ngeloyor ke belakang lewat jalan samping rumah kami menuju tempat cuci. Ibu saya melanjutkan kegiatannya merawat bunga-bunga. Namun Ibu jadi teringat kelakuan Belang dan Abu-abu dulu. Saking asiknya bersenda gurau dan berkejaran, kedua kucing itu menyenggol guci antik, oleh-oleh dari teman Ibu ketika pulang dari Hongkong. Guci Tiongkok itu sengaja ditaruh Ibu di ruang tamu sebagai pajangan di antara benda-benda bercitra seni dan harga tinggi milik Ibu yang, kata Ibu, diberi oleh beberapa teman fitnesnya sepulang dari luar negeri. Kalau bukan demi kemanusiaan, Inah sudah dipecat !

***

“Mbah, Belang kini sudah bandel.”

“Belang atau Abu-abu ?”

“Belang, Mbah. Abu-abu entah di mana. Entah dibuang, dibunuh, diculik atau dimakan orang. Orang jahat, Mbah ! Tidak punya perasaan ! Anjing !”

“Duh, Belang, Belang, ada apa denganmu, Belang ?”

“Belang tidak seperti dulu, Mbah. Susah diatur sejak ditinggal kembarannya.”

“Kini seperti apa dia ?”

“Sudah besar, Mbah ! Emmm? sebesar apa ya ?” Inah menoleh ke samping kanan-kirinya.

Matanya mengitari ruangan. Ia sedang mencari sesuatu sebesar kucingnya, Belang. Pria tua yang disebutnya “Mbah” itu pun ikut-ikutan mencari.

“Emmm? Nah, segitu itu, Mbah,” sambungnya seraya menunjuk botol yang berisi minyak tawon di rak obat. “Tolong ya, Mbah. Saya khawatir sekali pada nasibnya kelak.”
Mata orang tua itu langsung terpejam. Serta-merta kulit keriput keningnya berkerut-kerut. Mulutnya komat-kamit, melafalkan mantera-mantera. Inah diam. Ia paham apa yang sedang dilakukan orang tua itu. Tak sampai dua menit, mata orang tua itu terbuka.

“Belang masih berada di sekitar rumahmu. Dia sedang indehoy di rumah pujaan hatinya.”

“Dasar gatal ! Kecil-kecil mau kawin !”

“Sabar. Dia pasti pulang dan akan patuh seperti Abu-abu atau kucingmu lainnya. Setelah satu setengah jam perjalanan pulang dari sini nanti, kamu bisa lihat Belang tidur nyenyak di kasurmu. Beri ramuan ini seperti untuk kucing-kucingmu dulu.”

“Baik, Mbah. Bermilyar terima kasih !” Wajah Inah cerah. Senyumnya menyeruak lepas.

Dibayangkannya Belang seperti Kuning, Hitam, Telon dan kucing-kucing sebelum ada Belang dan Abu-abu; patuh dan manja sejak diberi ramuan dari tua bangka itu. Kemudian ia bermaksud mohon diri sesudah menyelipkan amplop kecil berisi uang di bawah taplak meja.

“Hari belum jam delapan pagi, Nah. Mbah butuh kamu temani. Sebentar saja. Mumpung istri Mbah ke pasar, dan pulang agak siangan,” jawab orang tua itu sembari beringsut mendekati duduk Inah di kursi beranyam rotan yang banyak bolongnya. “Kan Inah sudah lama tidak?”

***

Masih pagi. Ceracau sepasang burung gereja melintasi ruang makan rumah Inah.

“Kalian, kan, bisa makan lauk tempe dan minum teh pahit saja ?!” bentak Inah sewaktu ia memergoki anak-anaknya yang sedang menikmati susu dan daging kornet untuk Belang yang telah pulang kemarin siang. “Siapa yang suruh menghabiskan tempe goreng tadi malam ?!”

Dua anaknya yang bersiap untuk berangkat sekolah itu tidak berani menyahut. Keduanya menunduk seakan menyembunyikan wajah pucat mereka. Kecuali wajah si bungsu, yang baru berumur tiga tahun dan asik bermain mobil-mobilan kayu yang kemarin sore dibuatkan oleh si sulung. Kemarahan emak mereka serupa tahun lalu ketika mereka memakan ikan bandeng presto untuk makanan Kuning, Hitam, dan Telon. Mereka juga takut kalau-kalau emak mereka tidak memberi uang jajan selama satu minggu.

“Kalau makan jangan seperti orang yang tidak pernah makan ! Tempe goreng yang biasanya bisa untuk dua hari, malah dihabiskan dalam sekejap malam ! Sarapan pakai lauk apa ?! Kan sudah Emak beri jatah sepotong tempe per orang ?”

***

Meooong ! Meooong !

Inah dikagetkan oleh lolongan kucingnya. Serta-merta ia menghentikan bilasan pakaian kotor Ibu. Bola matanya bergerak mencari tempat asal suara yang dikirimkan langsung dari telinganya. Waduh, Belang terkurung di mana ya ? Gawat ! Inah beranjak.
Belang? Belang? kamu di mana ? Inah bergumam sambil berjingkat-jingkat ke ruang tengah melewati dapur dan ruang makan. Dalam hati ia juga cemas jika suara kucingnya membangunkan Ibu yang tadi, katanya, mau beristirahat sebentar sepulang dari aerobik.
Kamu bandel sih, Lang. Coba kamu tidur saja di dekat aku mencuci. Tapi kasihan juga kamu, Lang, jatah susu dan kornetmu dihabiskan anak-anakku tadi pagi, gumamnya lagi.

Meooong ! Meooooong !

Kucingnya terus melolong seperti sedang ketakutan lantaran diburu-buru sesuatu. Disusul suara benda-benda jatuh bahkan pecah. Inah terus mencari letak suara kucingnya hingga makin jelas berada di kamar tidur tamu yang biasanya dipakai jika ada saudara kami menginap.
Ternyata kamu tersesat di sana. Tunggu, ya, Nak, Mama akan menolongmu?

Ia mendekati pintu kamar itu. Pendengarannya disiapkan lebih tajam agar ia bisa juga mendengar sewaktu-waktu Ibu membuka kamar tidur karena terganggu lolongan Belang. Mudah-mudahan ibu tidak dengar, gumamnya.

Meooong ! Meooooooooooooong !

“Tadi kunci pintunya kamu taruh di mana, Say ?” bisik seorang wanita.

“Bangsat ! Rupanya kucing lonte ini habis nyolong ikan daganganku. Tuh lihat di kolong ranjang, tinggal kepala,” sahut seorang pria dengan suara agak jelas. “Awas ya ! Mampus kau !”

“Anjiiiiiiiing, jangan bunuh Belangku !!” teriak Inah sambil sekuat tenaga menggedor-gedor pintu kamar itu.

***

Gang Jablay, 2006

Datuk Penjinak Jalan

(dimuat Harian Batam Pos, Edisi 31 Desember 2006)

“Bang, tadi siang kawanku ngasih tahu, ada orang Bandung datang, ngajak Abang adu balap,” kata adikku sewaktu aku tengah memandikan motor Yamaha RX King-ku setelah puas dia kubawa berlari di hamparan pasir pantai Pasir Padi yang sedang berair surut.Sialan! Belum pernah malu orang itu rupanya!

“Kapan dia maunya?”

“Tergantung Abang, kata dia. Abang maunya kapan, dia setuju saja.”

Sialan kuadrat! Nyari penyakit, orang itu datang jauh-jauh ke sini! Memangnya dia titisan Popo Hartopo? Siapa takut!

“Bilang ke kawanmu, Abang kapanpun mau. Malam ini juga oke!”

“Okelah, Bang. Sip pokoknya! Aku ngeSMS kawanku dulu.”

***

Pernah kaulihat sebuah motor bermesin dua tak melesat secepat kilat dengan cukup selenting raungan di jalan raya sepanjang kota Pangkalpinang? Atau malah sering? Kalau iya, syukurlah. Kalau belum pun, tak apa-apa. Tapi kautahu siapa pengendaranya?

Perkenalkan, namaku Oji. Pria. Umur belasan tahun. Tinggal di kampung Melintang. Belum kuliah. Mungkin tidak akan pernah kuliah. Tentu saja belum menikah. Hobiku? memacu motor secepat kilat! Tidak ada hobi lain. Pernah kucoba bermain gitar. Tapi tidak berkembang. Bisa cuma tiga jurus, C-F-G. Kalau ikut kursus, harus bayar. Kalau aku ngamen, ayahku akan menentang. Ayahku pernah bilang, “Main gitar saban malam, mau jadi pengamen macam pengemis? Bikin malu Ayah!”

Sempat kepikiran jadi kuli di tambang liar milik pamanku. Upah besar. Bisa foya-foya di akhir pekan. Kata orang pandai, otot dan otak itu dihargai secara berbeda. Tapi? ah, itu kata orang pandai yang lalai menghitung hal-hal tak terduga, termasuk nyawa. Lebih dari seratus orang telah dikubur hidup-hidup di lubang penambangan. Aku urung. Gengsi, lulusan SMA jadi kuli begitu. Kalau jadi pegawai negeri? Paling-paling jongos.

Aku hanya mau jadi pembalap, pembalap jalanan. Sudah lebih menguntungkan. Ikut balapan resmi dengan imbalan hadiah sekian juta rupiah? He he he he? Tidak saban bulan ada lomba balap resmi. Juga kurang menantang. Kalau di jalanan? Wah, lebih menantang sekaligus menguntungkan.

Kami bisa setiap malam adu balap, adu uang. Terlebih malam Minggu. Soalnya, malam Minggu selalu banyak pesertanya. Dari dalam dan luar kota. Penonton pun ramai di pinggir-pinggir jalan. Menonton saja, atau ikut pasang taruhan. Semakin malam, harga taruhan semakin naik karena pesertanya semakin terseleksi. Peserta yang tereliminasi sejak putaran pertama, silakan menjadi duduk manis di barisan penonton. Polisi lalu lintas? He he he? Tantangan mengasyikkan!

Orang-orang sekotaku pun tahu. Setiap aku mengendarai motor Yamaha RX King Cobra-ku di jalan, orang-orang akan langsung diam. Anak-anak, orang dewasa, dan para lansia. Yang sedang berkendaraan, akan segera minggir, lalu duduk santai di jok kendaraan mereka. Yang sedang berjalan di trotoar, akan minggir ke daerah lebih tepi karena aku bisa tiba-tiba nyelonong ke trotoar demi variasi aksiku. Yang sedang beraktivitas di dalam bangunan, spontan berhenti, lalu bergegas ke pintu atau jendela. Yang nekad menjalankan kendaraannya, langsung kususul dan dahului.

Aku tahu, dalam benak mereka tergambar diriku dan aksi-aksiku yang paling sinting sepanjang sejarah perkebutan jalanan. Mereka pasti selalu menunggu-nunggu aksiku berikutnya. Baru kuhidupkan motorku di garasi, para tetangga sudah berhamburan dan berdesakan di pagar rumahku. Karena mereka sesungguhnya paham bahwa aku adalah raja jalanan di kota ini. Motor Yamaha RX King Cobra itulah tahtaku.

Tapi seringkali terlambat. Kalau mereka bergerak ketika mendengar suara motorku, tinggallah suara keluh-sesal dan wajah kecewa mereka. Ketahuilah, kecepatan motorku melebihi kecepatan suara. Secepat kilat. Kilat selalu lebih dulu muncul, baru disusul gelegarnya. Begitu juga motorku. Bagaimana aku memodifikasi mesinnya? Oh, itu rahasia! Boleh, kan, raja punya rahasia?
Untuk meraih mahkota raja jalanan, perjuanganku tidak main-main. Pertama-tama dari jalan kampung kami dengan motor bebek ayahku, lantas merambat ke jalan-jalan kampung lainnya. Jalan-jalan yang kulewati setiap pulang sekolah juga arena pacu motorku. Lawan-lawanku mula-mula kawan kampung dan kawan sekolah. Terus menyebar ke anak-anak kampung lain dan sekolah lain. Dan bukan hanya di jalan aspal. Trotoar pun bisa jadi bagian dari sarana laju roda motor kami.

Dibanding dengan motorku sekarang, kecepatan motor bebek ayahku dulu memang masih di bawah standar. Tapi sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan lawan-lawanku. Bukan motornya, tapi siapa pengendaranya. Aku tidak tahu apa resikoku andai celaka. Orangtuaku sendiri sudah tidak pernah lagi menasehatiku. Bagiku, yang penting ngebut, jadi pemenang! Dapat duit juga. Orang-orang kagum. Musuh-musuh minder.

Jangan heran, aku sudah menguliti jalan Krakas, jalan Pahlawan Duabelas hingga seluruh jalan di Pangkalpinang serta hamparan pasir pantai Pasir Padi, entah saat air surut maupun pasang. Terus jalan Benca, jalan Koba, jalan Pemuda Sungailiat, dan entah mana lagi. Rute pergi-pulang Pangkalpinang ? Sungailiat, Pangkalpinang ? Muntok, Pangkalpinang ? Koba, Pangkalpinang ? Tobuali, Pangkalpinang ? Tanjungpandan, dan Pangkalpinang ? Manggar pernah kugilas dalam waktu super singkat.

Paling rawan rute Pangkalpinang - Koba. Badan jalannya selebar lima meter saja. Lalu lintas padat, dan semua melaju kencang seperti dikejar hantu. Saban hari pasti ada kecelakaan dan kematian di sana. Tapi mereka semua tidak ada apa-apanya dibanding asap knalpotku. Para pembalap kelas kota maupun kampung selalu berjarak puluhan meter di belakangku. Jelas aku lebih sering tampil sebagai pemenang daripada pecundang. Duit, decak kagum, dan... ah, biasa.
Ketahuilah, aksi yang kusuguhkan bukan sekadar kecepatan, melainkan pula atraksi-atraksi paling sulit dan rumit. Ada seninya.

Dalam keadaan ngebut, aku jarang memindahkan porseneling dengan kaki. Aku tengkurap di tangki, lalu memindahkan porseneling dengan tangan. Kadang telentang di jok, kaki-kakiku mengendalikan stang. Atau berdiri di atas jok motor sambil mengirim SMS. Atau dalam beregu, aku berani pindah dari motorku ke motor kawan ketika kecepatan melebihi 140 km/jam. Tikungan gawat, tanjakan berkelok, lalu-lalang kendaraan yang lain, adalah biasa.

Oleh karenanya banyak orang menggelarku: Raja Jalanan, bahkan kawan-kawan dan lawan-lawanku menjuluki aku “Datuk Penjinak Jalan”. Koran Bangka Pos, Babel Pos, Pos Belitung, dan Rakyat Pos pun setiap hari memberitakan sepak-terjangku. Tabloid mingguan Babel Ekspres malah menulis kisahku sepanjang dua halaman penuh tanpa ada secuil iklan pun! Mereka tidak lagi mengenal tokoh Ali Topan, si Anak Jalanan itu. Mereka hanya tahu saat ini ada King Oji, Sang Datuk Penjinak Jalan. Aku sangat bangga. Umurku baru semuda ini bisa jadi raja jalanan, bergelar datuk pula!

Sebagai raja atau datuk yang disegani, aku harus siap meladeni segala tantangan, baik tantangan siapa, rute, harga taruhan, kendala kondisi alam, kondisi jalan, maupun polisi. Kata koran daerah kami, tahun ini ratusan nyawa melayang, ratusan yang cacat dan ribuan yang luka parah akibat kecelakaan lalu lintas alias ngebut di Bangka Belitung.

Yang pernah lucu di jalur dua Pemuda Sungailiat yang remang. Terjadi dua kali adu kambing dalam hitungan hampir satu menit. Keempat pembalap mampus semua.

Menurutku, kecelakaan memang semata suratan takdir. Tapi kalau orang pandir nekad adu ngebut atau berlagak macam pembalap? Ya matilah kau! Minimal gegar otak parah lalu menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa Parit Padang Sungailiat.
Surat Ijin Mengemudi? Kami, pembalap jalanan, yang telah diuji langsung dan mempertarungkan nyawa, tidak usah lagi susah-susah mengurus SIM. Bukan hal aneh di daerah kami bahwa memiliki SIM itu mudah. Cukup sediakan uang 200 ribu rupiah, beres. Mau rombongan atau sendiri, gampang. Tinggal nanti antri untuk foto dan tanda tangan, satu hari SIM jadi. Tembak! Hanya Surat Ijin Membalap yang belum kami miliki.

***

Semula aku berpikir, bagaimana kalau adu balap diadakan pada hari Minggu di pantai Pasir Padi. Biasanya hari-hari itu orang Pangkalpinang tumpah-ruah di sana karena itu satu-satunya kawasan wisata bahari yang menjadi kebanggaan kami. Sambil mandi di laut, bercengkerama dengan kekasih atau keluarga, menikmati es kelapa muda beserta lezatnya empek-empek, atau sekadar memandang kapal-kapal besar pengangkut penumpang dan pengangkut barang lalu-lalang di tengah laut, orang-orang pasti bakal berpaling lantas tersihir oleh pesona aksi balapku. Atau, di seberang jalan, di lahan yang kini telah disulap menjadi ajang adu balap. Pasti ramai. Pasti banyak penontonnya. Pasti banyak petaruhnya (Ssssst! Jangan bilang mereka judi ya, tapi uji nyali atau adu keberuntungan dalam mempertaruhkan duit mereka).

Ah, terlalu lama kalau aku harus menunggu Minggu. Hari ini baru Selasa. Menunggu Minggu, kelak malah dikira aku ini pengecut dan sengaja mengulur waktu. Raja Jalanan alias Datuk Penjinak Jalan bukan pengecut, you know! Polantas, yang katanya, naik motor besar atau sekaliber Valentino Rossi pun tidak sanggup mengejarku. Malahan motorku pun lebih cepat sepersekian detik dibanding peluru.

Tidak usah menunggu Minggu. Aku, King Oji, Sang Datuk Penjinak Jalan, pantang bagiku untuk menghindar dari tantangan. Catat itu!

Tulalit! Tulalit! Tulalit! Kuraih HPku di atas meja bertabur mur dan baut.

“Bang, sudah jam berapa ini? Sudah ditunggu publik di jalan Jenderal Sudirman!”

“Oke! Oke! Dua menit lagi. Tunggu!”

“Dekat lampu merah, Bang!”

Sialan! Aku baru ingat, sebentar lagi aku akan beradu ketangkasan dengan orang Bandung itu. Jalan Jenderal Sudirman bukan sirkuit tak resmi yang baru bagiku. Hampir setiap malam Minggu, dari jam sembilan sampai dini hari aku menguasai jalan mulus tanpa penerangan jalan di antara bangunan-bangunan pertokoan, gedung walet nan padat lalu-lintas kendaraan itu. Dari motor 125 cc, 250 cc hingga 500 cc akhirnya takluk di ujung asap knalpot motorku. Motor mereka boleh bagus, mutakhir, dan canggih. Tapi, sekali lagi, catat, tergantung siapa pemegang kemudi. Dan, jangan lupa, kemujuran. Ya, kemujuran. Catat itu!

Segera kuhidupkan motor andalanku setelah kukenakan perlengkapan balapku. Seperangkat kostum terbaik. Warnanya kuning. Tidak perlu helm karena penerangan jalan sangat minim dan kaca helm berwarna gelap. Pandangan tidak bisa maksimal.

Greng! Breeeng! Ngueeeeng!! Aku keluar dari garasi. Serta-merta tetangga berhamburan, ingin melihatku beraksi. Beberapa diantaranya langsung menyambar motor, menguntitku, lantaran ingin menyaksikan siaran langsung aksi balapku. Aku tidak peduli sebab aku harus secepat mungkin tiba di tempat perjanjian.

Satu menit koma empat puluh tujuh detik aku sudah sampai di tempat yang disepakati. Bulan bersembunyi di balik gedung-gedung walet. Rupanya orang-orang sudah memadati trotoar di tepi jalan tanpa penerangan itu, kecuali remang karena pantulan lampu-lampu teras pertokoan. Ada yang sambil duduk santai di warung-warung kaki lima yang menyajikan thei fu sui1 beserta lemper, kue cang, lepet bugis, empek-empek, martabak, dan lain-lain. Ada yang duduk-duduk di jok motor, atap mobil, teras lantai dua pertokoan, dan di mana-mana. Kanak-kanak sampai kakek-kakek. Pria dan perempuan. Mereka kelihatannya sudah tidak sabar menantikan pertarunganku kali ini. Barangkali mereka berpikir, apakah malam ini gelar Datuk Penjinak Jalan masih layak kusandang. Pikiran konyol!

Seorang pria berkostum balap berwarna merah menyala sedang asyik duduk di jok motor Kawasaki Ninja-nya sembari menghisap rokok. Posisinya berada di tepi garis start yang dibuat dari kapur tulis. Aku yakin orang inilah penantangku.

He he he he? Belum tahu dia! Dia belum pernah merasakan sedapnya asap knalpot motorku. Sabar, Boy? Sabaaaaar? Si Datuk tak akan seenaknya menarik pelatuk pertandingan. Biarkan kawan-kawan yang mengaturnya. Terima beres sajalah.

“Bang, aturannya seperti biasa. Dia sudah tahu,” bisik adikku.

Aku cuma mengangguk. Kupikir, tidak usahlah kau sibuk soal aturan dan malah menasehati abangmu. Harus begini-begitu, lintasan dua kali bolak-balik. Dan lain-lain.

“Oh ya, Bang. Kayaknya kita pernah kenal orang itu. Lama sekali dia tidak muncul di arena. Dia bukan orang Bandung, Bang. Tadi dia bilang, dia dari?”

“Mau orang Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya, Bali, Makassar, Jepang, Amerika, Italia, bahkan orang dari akherat pun masa bodoh! Kau lupa, sudah berapa ribu pembalap jalanan dari kota di seluruh Indonesia yang pernah kukentut di kota ini, hah?!”

“Oke! Oke! Selesai pertarungan kelak Abang akan tahu sendiri.”

Tidak sampai satu menit, kawan adikku sekaligus panitia tunggal acara balap tak resmi ini segera memberi aba-aba. Spontan lawanku membuang sisa rokoknya, lalu menghidupkan motor dan berposisi siaga.

Satu? Dua? Tigaaaa? Bendera terangkat.

Ngueeeeeng! Kami meluncur bersamaan dengan tarikan gas yang dalam. Sebentar langsung menuju jalan sedikit menikung. Posisi kami sejajar. Sama-sama meniarapkan badan di atas tangki motor. Sama-sama kian kencang. Sama-sama saling menoleh, saling menatap. Roda depan kami pun saling mendahului. Lampu depan motornya lebih terang. Pertarungan paling seru dan mendebarkan dalam sejarah balapku! Memang, saban balap, bagiku, selalu mendebarkan. Tapi kali ini lain dari sebelumnya. Lawanku satu ini?

Sialan! Boleh juga orang ini. Eh, kayaknya aku kenal. Bukan orang baru. Dari gayanya. Cara mengendarai motor. Mmmm? Tapi siapa ya? Ribuan rival telah kukalahkan. Orang ini rival keberapa ya? Mmm? Ah, masa bodoh! Yang penting dia harus akui aku, King Oji, Sang Datuk Penjinak Jalan! Cuma kematian yang mampu menghentikanku! Catat itu!

Menjelang ujung lintasan pertama, orang itu merogoh lipatan kostumnya. Mungkin mau pamer aksi lainnya. Di luar dugaanku, dia menarik sesuatu lantas diarahkan ke kepalaku. Sebelum aku sempat meliriknya,... Dor!

Seketika semua gelap gulita.

***
Pangkalpinang, Agustus 2005

Keterangan: 1) susu kedelai

Debu-Debu Bangunan

(dimuat Harian Batam Pos, Edisi 10 Desember 2006)

Matahari sudah tidak lagi melukisi bayang pepohonan liar memanjang hingga di tengah jalan baypass yang sedang saya lewati menuju proyek. Jalan selebar 8 meter masih tanah merah dengan dua jejak roda-roda yang mengeras. Seringkali sepeda motor, sedan, mobil kapsul berplat merah hingga truk-truk besar berkecepatan lebih dari 60 km/jam lalu-lalang, membuyarkan debu-debu yang lantas membungkus saya dan motor saya. Apa boleh buat. Sebab lokasi proyek berada di pertengahan jalan tersebut yang berjarak kira-kira 3 km dari indekos saya.Saya ingin segera tiba di proyek, meski motor bebek 2 tak keluaran tahun 1975 saya menggelinding tertatih-tatih. Saya khawatir beberapa tamu dari pemerintah daerah bahkan direktur saya mendadak muncul di lokasi untuk meninjau proyek yang saya awasi sejak empat bulan ini. Jangan sampai orang-orang penting itu datang lebih dulu, lantas melihat saya sedang tidak berada di tempat. Bisa berakibat jera mempercayakan saya sebagai pengawas di proyek berikutnya. Bisa-bisa mempengaruhi perjalanan karier saya di saat usia saya baru kepala dua.

Ini proyek uji coba pertama saya. Selama bekerja di konsultan bangunan itu, saya berurusan dengan administrasi, kurir dokumen perencanaan, dan menagih uang kontrak melulu. Karena kekurangan tenaga pengawas lapangan, akhirnya saya yang ditugaskan.

Setiba saya di jalan masuk proyek, tidak terlihat mobil siapa-siapa. Aman, pikir saya. Kecuali sepeda motor bebek 4 tak baru, entah milik siapa. Kemudian saya parkirkan motor di kolong direksi keet, berdekatan dengan tumpukan semen. Tempat paling teduh sebab pepohonan telah disingkirkan oleh buldoser sewaktu pembersihan lokasi proyek, kendati kalau ada pekerja mengambil semen maka motor saya jadi berbedak debu semen.

Di pinggir halaman bangunan yang permukaan tanahnya masih telanjang dan tidak rata tampak Mandor Suryadi tengah bicara dengan seorang pemuda berjaket kulit. Keduanya berdiri dengan sikap kaku. Siapa pula pemuda itu, pikir saya. Tas saya geletakkan begitu saja di atas jok motor, saya bergegas menuju mereka.

Dari jarak 10 meter terlihat air muka Mandor Suryadi tidak menyuguhkan senyum khasnya. Sementara lawan bicaranya menampilkan kening berkerut dan bibir berkerucut. Saya mempercepat langkah hingga setengah berlari. Matahari menjilati kepala dan jaket saya.

“Ada apa, Bos?” tanya saya setelah berjarak kira-kira dua meter dari keduanya.

“Ini lho, Pak Oji. Mas ini minta aku tunjukkan gambar kerja. Padahal sudah aku bilang, gambar kerjanya dibawa bos pemborong tadi malam. Lagian bangunan kita ini kan tinggal dua puluh lima persen lagi rampung. Mas ini nggak percaya. Disangkanya aku bohong. Mau sumpah pocong, aku nggak takut!” jawabnya sambil menoleh ke arah saya. Posisi badannya tetap menghadap pemuda itu. Kicauan burung-burung liar terdengar sayup-sayup.

Saya percaya Mandor Suryadi tidak bohong karena semalam Mandor Suryadi mengirim SMS ke saya. Isinya, mau pinjam gambar kerja yang ada di tempat saya untuk menempatkan setiap titik kuda-kuda. Soalnya tadi malam bos pemborong berencana datang, mengambil gambar kerja untuk menghitung jumlah kayu gording, kayu usuk, reng, dan genteng. Tapi hari ini saya lupa membawanya gara-gara tergesa-gesa datang setelah rampung mencuci sekeranjang pakaian saya sendiri.

Saya berhenti di antara keduanya. Saya menatap pemuda itu. Kebetulan dia sedang menatap saya. Nyala matanya belum reda. Bibirnya menyeringai.

“Mas siapa dan dari mana?”
“Aku dari LSM. Abang siapa?”
“Aku pengawas pembangunan gedung ini.”
“Ooo? gitu.”
“Ya begitu. Mas dari LSM mana?”
“Abang tahunya LSM mana saja?”
“Lho, Anda ini payah. Ditanya kok malah balik nanya.”
“Pokoknya aku mau lihat gambar kerjanya. Apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Titik!” tandasnya lantang sembari mengarahkan telunjuk ke tanah, dan melotot ke arah saya.

Kuli-kuli yang sedang bekerja spontan berhenti. Mereka menoleh ke arah kami. Mata mereka mengarah ke kami satu persatu. Beberapa dari mereka segera bekerja lagi.

“Misal penyimpangannya apa, Mas?”
“Misalnya, bangunan mengalami retak-retak setelah beberapa bulan diresmikan. Padahal ini, kan, bangunan milik pemerintah daerah. Dananya dari duit rakyat. Itu pasti dampak penyimpangan ketika tahap pengerjaan.”
“Kenapa retak-retak?” tanya saya lirih sambil memutar kepala dan menyodorkan telinga ke arahnya. Sedangkan kedua tangan saya berada dalam saku depan jaket.
“Ya jelas akibat menyimpang!”
“Mas menguasai masalah mekanika bahan dan mekanika teknik, nggak?”
“Mmmm?” Mulutnya mengatup. Mata pun meredup. Dada mundur sepuluh derajat.
“Lhooo... Jangan cuma menjawab "mmmm..." kayak anak kecil mogok makan begitu dong. Menguasai, nggak? Kalau menguasai, kan kebetulan. Barangkali saja ada kesalahan pemakaian jenis atau ukuran bahan untuk struktur bangunan dalam gambar kerja. Kan bisa saja justru gambarnya yang salah, karena arsitek perencanaan memang bukan ahli struktur.”

Dia diam saja. Matanya mengarah ke mana-mana. Sikap kakinya sudah lentur bahkan bergerak-gerak tak menentu. Sikap berdiri Mandor Suryadi pun berubah. Kedua kakinya berposisi santai. Kedua tangannya bertekuk di dada. Air mukanya pun tidak tegang lagi.

“Kalau nggak menguasai, mending belajar berhitung dulu. Buka buku-buku teknik sipil, dan mulailah menghitung struktur. Kalau sudah yakin bisa, kembalilah ke sini. Pembicaraan kita pasti bakal bermutu. Di kantor kami banyak insinyur sipil. Mau belajar di sana, silakan. Baru kelak Mas datang ke sini lagi.”
“Pokoknya?” Nadanya menanjak.
“Ya pokoknya Anda harus nguasai itung-itungan dulu,” serobot saya dengan nada datar dan mengganti sebutan namanya. Nggak usah pakai “mas-masan” lagi, pikir saya.

Dadanya bergerak. Mulutnya menganga. Tapi kata-katanya tersangkut di leher.
“Oh ya, Anda dulu kuliah di jurusan apa? Sarjana apa?”
“Komunikasi. Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.”
“Oooo? cocok sekali Anda bekerja di LSM. Tapi di sini Anda salah jurusan. Coba dulu Anda kuliah di jurusan teknik sipil, kita bisa berdiskusi di sini. Saling belajar.”
“Emangnya Abang dulu kuliah jurusan apa?”
“Seni Tari di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.”
“Lho?”
“Hehehehe? Logikanya dipakai dong, Bung,” kata saya sambil tangan kanan menunjuk-nunjukkan pelipis saya sendiri. Mandor Suryadi tersenyum simpul.
“Sialan.”

Kali ini dia bisa tersenyum. Matahari kian membara di atas kami.

“Sudahlah. Mending Anda pulang dulu.”
“Okelah, Bang. Tapi aku mau ngambil beberapa foto dulu, ya?”
“O, silakan. Asal jangan ngambil sisa genteng atau semen di gudang sana.”

Dia menanggapi dengan senyum lebar seraya merogoh saku jaketnya. Sebuah kamera keluar tapi seutas pita tersangkut di situ. Ada nama sebuah koran lokal.

“Sialan! Anda rupanya wartawan ya!”
“Hehehehe? iya, Bang,” jawabnya dengan cengar-cengir seperti maling kepergok sedang mengangkuti jemuran orang, lantas mengeluarkan kartu persnya.
“Sialan. Mau main tipu-tipuan rupanya. Baru jumpa pertama sudah main tipu.”
“Sorry, Bang.”
“Sorry, sorry, sorry!” sergah saya dengan nada agak tinggi. “Aku kira Anda betul-betul dari LSM seperti dua orang yang kemari dua minggu lalu. Lagaknya ya macam Anda ini. Datang-datang minta diperlihatkan gambar proyek. Soal struktur saja nggak ngerti.”

Dia masih cengar-cengir. Mandor Suryadi ikut cengar-cengir.

“Lain kali hati-hati. Suhu di sini bisa mencapai 40 derajat celsius menjelang tengah hari. Kalau Anda nggak pandai-pandai bawa diri, jangan salahkan kawan-kawan kuli yang akan menjadikan diri Anda sebagai campuran bahan untuk pondasi pagar di ujung sana! Atau dikubur hidup-hidup di lubang bekas galian tambang rakyat di semak belukar itu. Daerah ini masih dikepung hutan belantara. Anda hilang, kawan-kawan koran Anda nggak tahu!”
“Sorry, Bang, sorry.” Wajahnya cengengesan.
“Jangan nipu lagi ya! Aku kenal bos koran Anda. Juga beberapa redakturnya. Aku bisa saja menghubungi bos Anda sekarang juga. Aku akan bilang bahwa anak buahnya di wilayah ini berbuat begini-begitu yang buntut-buntutnya minta duit. Aku bisa tulis surat pembaca dan kusebarkan ke koran-koran lokal. Tamatlah karier kewartawanan Anda!”
Badannya sedikit tersentak lagi ke belakang. Matanya melurus ke arah saya. Mungkin dia berusaha mengamati dan mengingat-ingat sesuatu. Mungkin dia merasa kami pernah bertemu di kantornya. Atau pernah melihat wajah saya muncul di korannya. Tapi mana mungkin. Saya tidak suka diri saya difoto oleh wartawan mana saja. Saya pun tidak pernah tampil di acara-acara besar. Entahlah. Yang jelas, matanya berusaha membedahku.

“Abang ini siapa ya sebenarnya?”
“Nah! Nah! Nah! Ini dia!” jawab saya sambil mengacungkan telunjuk lalu menggoyang-goyangkannya, dan kepala saya mengangguk-angguk. “Ternyata Anda tidak mengenal siapa aku. Gawat Anda ini. Padahal tulisan-tulisanku tentang bangunan dan pembangunan daerah selalu dimuat di koran Anda. Bahkan kantor pusat koran Anda di Pangkalpinang itu, siapa arsiteknya. Rumah bos Anda yang megah di dekat bandara Depati Amir juga. Rumah perempuan simpanannya yang di kawasan wisata Pasir Padi juga.”
“Wah! Wah! Wah! Abang ini ternyata tahu banyak luar-dalam bos kami. Padahal aku sendiri tidak tahu apa-apa. Hebat nian bos kami nyimpan rahasia.”
“Tentu saja, Dul. Anak buahnya hanya mau tahu beres. Apa-apa terjamin.”

Dia tersenyum lebar hingga memamerkan gigi depannya yang tidak lengkap lagi. Mandor Suryadi ikut tersenyum. Barangkali burung punai di persembunyiannya pun tersenyum. Kecuali matahari yang semakin beringas membakar kami.

“Kalau aku butuh gadis penghangat ranjang malamku, bos Anda segera menyediakan. Seketika itu juga! Gadis-gadis dari kantor Anda sendiri. Cantik-cantik, seksi-seksi, dan permainan mereka, waow!” seru saya sambil menyapukan lidah di bibir kering saya, dan mengacungkan jempol. “Hot! Bikin ketagihan!”

Dia tidak menimpali, tapi berpaling sejenak ke arah bangunan yang menunggu pengerjaan struktur atap itu. Lalu menghadap saya lagi, dan menanyakan nama saya.

“Namaku Saroji. Ingat ya. Sa-ro-ji! Bos Anda mengenal nama pendekku, Oji!”
“Oooo? ini rupanya Bang Oji itu! Waduh, baru kali ini aku bisa ketemu langsung dengan penulis yang sangat digandrungi staf-staf wanita di kantor kami, termasuk wanita setengah baya di bagian dapur.”
Sialan, maki saya dalam hati. Maaf-maaf saja. Biar tampang saya serampangan begini, saya masih gampang memilih. Tidak sembarangan!
“Namaku Aleksander, Bang. Cukup panggil Alek. Biar jelek tapi intelek, kata orang,” ujarnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya.

Segera saya sambut jabat tangannya. Saya mengerti betapa pentingnya arti persahabatan dengan media massa, khususnya koran lokal. Jika ada wartawan yang dianggap cuma menyebarkan gosip murahan, terutama oleh kalangan selebritis lokal atau public figure, sebenarnya konsekuensi logis bagi "korban gosip". Perilaku yang baik dan bersahabat, mana mungkin menjadi bahan berita gosip buruk. Itu menurut prasangka saya saja.
Beberapa kuli melihat adegan jabat tangan kami. Ada yang tersenyum. Ada yang saling menatap sambil cekikikan. Ada yang sama sekali tidak berekspresi. Yang lainnya tidak peduli, kecuali tetap sibuk melakukan pekerjaan mereka.

“Sorry lagi, Bang. Aku mau motret proyek Abang. Sebentar saja. Dua-tiga jepretan,” sela wartawan itu, lantas tergesa-gesa melangkah ke tempat yang diperkirakannya memiliki sudut pandang yang bagus. Mungkin lumayan jadi berita, kendati gagal mendulang duit.

Mandor Suryadi menatap saya. Kedua tangannya telah dimasukkan ke saku depan celananya. Senyum khas kembali melaburi wajahnya.
“Terima kasih, Pak Oji. Untung ada Bapak. Kalau tidak, kami bakal tambah tekor. Minggu lalu harus bongkar dinding yang kurang rapi. Juga ganti kusen depan yang ukurannya lebih kecil lima centi. Bisa-bisa tadi duit bos kami melayang dua juta.”
“Ya, sama-samalah, Bos. Kita, kan, harus bekerja sama di proyek ini. Saling bantu. Tahu sama tahu. He he he he? Yang penting bagaimana lancarnyalah, Bos.”

Kemudian kami berjalan menuju tempat "wartawan" yang tengah sibuk mengambil obyek. Jarak antara kami dan wartawan itu sekitar 30 meter. Kami harus tetap mengawasi gerak-geriknya. Jangan sampai justru dia yang melakukan penyimpangan.

Selama perjalanan jarak pendek Mandor Suryadi mengungkapkan bahwasannya semalam bos pemborong tidak jadi datang. Kabarnya, bos pemborong sedang sakit gigi. Mungkin giginya harus dicabut lagi. Mungkin kini giginya menyisakan dua geraham belakang. Jadi, gambar kerja masih di ruang Mandor Suryadi, kesimpulan saya. Berarti sumpah pocong tadi cuma trik tradisional untuk menggertak lawan bicara. Sialan!

“Oh ya, ini untuk Bapak. Sekedar mempererat kerja sama kita,” katanya sembari merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu, lalu menyelipkannya di saku depan celana saya. Ini kali ke-18 saya menerima ?bonus? di proyek.
“Terima kasih banyak, Bos.”
“Sama-samalah, Pak Oji. Sama rata, sama rasa. Ha ha ha ha?”
“Ha ha ha ha ha?”

Saya dan Mandor Suryadi terus melangkah menuju wartawan muda yang sedang sibuk memotret. Satu-dua perkutut liar melintas di atas kepala kami. Sesekali angin kencang menerpa, menghamburkan debu-debu dari tanah telanjang di sekeliling kami. Tak pelak kami harus menutup mata dan hidung dengan telapak tangan. Resiko yang sering kami alami.

“Tadi nama Bapak kok berubah jadi Saroji? Seingatku, Bapak bernama Maroji seperti yang pernah kutengok di kartu nama Bapak dulu. Gelar Bapak Sarjana Muda Pariwisata, kan?” bisik Mandor Suryadi manakala kami kian mendekati wartawan itu.
“Sssstt, nama Saroji dan Maroji beda-beda tipis, Bos. Sama-sama Oji,” balas bisik saya. “Aku tahu nama Saroji dari pergunjingan kawan-kawan insinyur di kantor.”
***
Kobatin, awal Oktober 2005

Selasa, 18 November 2008

Cinta itu Coitus ?

(dimuat: Harian Batam Pos, Edisi 13 Agustus 2006)

Aku berasal dari sebuah kampung temaram yang sedikit agak tersingkir dari kemeriahan kota yang berkubang sinar pelangi malam hari. Setiap melihat atau mendengar secuil saja hal yang baru bagiku, sontak mataku terbelalak, mulutku menganga.

Aku sering digelari kawan-kawan baruku, “Orang udik yang heran melihat peradaban mutakhir”. Ada yang menyingkat, “Orang heran”. Disusul tawa terpingkal-pingkal. Tentu saja aku hanya bisa merespon dengan pipi sewarna tomat matang. Apa daya, mungkin mereka benar.

Belum sampai lima kali kalender berganti aku berada di daerah yang agak bermandi pelangi elektrik ini. Dibanding kampung asalku, daerah yang baru kutinggali ini lebih sering diocehi orang-orang, klakson, knalpot, mesin kendaraan dan sirine. Bahkan omelan itu berhamburan setiap hari, terlebih saat jarum jam hinggap di angka 7, 8, 11, 1, 2, 7, 8. Pada awal aku tinggal di situ, aku sering terbangun. Dadaku berdetak lebih kencang beberapa detik dari biasa. Tanpa ada apa-apa, alam bawah sadarku merekam ocehan-ocehan itu hingga sekonyong-konyong membuncah pada saat rembulan tiga perempat baya.

Setiap kejadian seperti itu, seketika kantukku melesat tanpa alamat. Kucari di lipatan diktat, kusingkap di balik selimut, kusibak di kelopak mataku, tetap saja kantuk itu sudah tak berbekas. Terpaksa aku seperti kera kehilangan ekor. Efeknya, kawan-kawanku cekikikan di kamar mereka. Cekikikan? Ya, dari sebelah kamar kosku pada suatu malam.

“Makanya, Ji, jadi laki-laki musti punya perempuan. Contohnya kami ini.”
“Untuk?”
“Ya untuk kalau tiba-tiba kau terjaga semacam itu?”
“Lantas?”
“Ah, kau ini udik betul, Ji Oji. Memalukan pergaulan!"
Memalukan pergaulan?
“Iya tuh, dasar udik kawanmu! Mana bisa hidup di kawasan berkelimpahan lampu!”
“Sssst.., jangan heran, my sweetheart, si Oji memang orang udik, orang heran!”

Aku tersipu oleh sapuan kata-kata itu. Gadis di sebelah kawanku tersenyum terus. Entah sudah terhitung berapa malam gadis itu mengungsi ke kamar kawanku (Mungkin kamar kos gadis itu tiba-tiba diterjang tanah longsor, angin topan, banjir bandang, badai besar, angin bahorok). Entah sudah terhitung berapa kali pakaian dalamnya dijemur di jemuran kami (Aku yakin itu punya dia, karena warnanya merah muda, berenda-renda dan bordir bergambar Desy bebek sedang tertawa ngakak). Entah sudah atau belum kawanku melapor ibu kos kami yang rumahnya di belakang kos kami.(Apa gunanya melapor?)

“Oji, kau sudah pernah pacaran?”
“Sudah. Tapi pacarku ada di kampung." (Aku memang punya pacar. Sungguh).
“Sudah pernah bercinta?"
“Ya jelas. Kami kan saling mencinta.” (Suaraku mantap!)
“Wah, ini dia! Suit suiiiiiiit!”
“Rupanya boleh juga kawan udik Mas ini. Agak sedikit lumayan modern deh.”“Bercinta begini? Make love? (Kawanku menyelipkan jempolnya di sela pangkal jari telunjuk dan jari tengah. Aku mengerti apa arti simbol itu sejak dari kampungku.)
“Bukan. Orangtuaku bilang, sebelum nikah resmi, begituan itu zinah, zinah itu dosa, dosa bakal dihadiahi belerang membara abadi. Masuk neraka. (Seperti juga kata guru agama dan budi pekerti di sekolah dasarku dulu. Ajaran guruku mirip kata-kata orangtuaku)
“Tertipuuuuuuuu!”
“Idiot sekali!”
“Ru-gi, you know!” (Pacar kawanku ikut-ikutan menimpali sambil tersenyum lagi)
“Betul-betul udik! Orang heran. Engkau tergolong orang-orang merugi, wahai myfriend.”

Aku tersipu lagi. Aku orang merugi? Apakah akibat orangtuaku dan guru agamaku yang membuat perintah keliru, kadaluarsa, kuno, tidak up to date? Perintah ngawur? Apakah juga suatu perintah moral harus dikeluarkan setelah melalui proses studi lapangan di lingkungan anak-anak muda lainnya? Aku tidak habis mengerti atas perbedaan ini.

“Eh, Oji orang heran. Camkan, baik-baik ya. Jaman kini cinta itu coitus.”
“Coitus? Cinta itu coitus?”
“Iya. Coitus itu cinta. Cinta tanpa coitus, itu bukan cinta. Cuma kawan bersapa.”“Coitus itu apa? (Kata coitus tidak pernah ada dalam perbincangan orang-orang kampung kami, tidak diajarkan di sekolah hingga kini aku berkuliah di fakultas Ekonomi)
“Ya seperti ini.” (Pacar kawanku memperlihatkan dua jarinya bertemu ujung membentuk lingkaran lalu jari telunjuk satunya masuk di tengah lingkaran kosong itu. Aku tahu apa arti simbol itu dari kawan-kawan kampungku).
“Kamu tahu artinya? Ihik lho.”Oh!

Aku terperanjat. Setahuku, di kampung kami, para perempuan tidak seenaknya seperti pacar kawanku itu. Tidak senonoh. Saru. Tabu. Porno. Bejat. Cabul. Pokoknya bisa disebut perempuan nakal. Bahkan kakak perempuanku, adik perempuanku, anak tanteku dan keponakan perempuanku tidak satu kali pun kulihat berbuat seperti itu. Apa mungkin keluargaku dan kampungku termasuk salah mengamalkan perintah? Aha! Mudik hari raya nanti aku akan bilang ke keluarga dan orang-orang kampung kami, bahwa ada perintah baru di tempat lain yang sesuai peradaban masa kini. (Mereka pernah bilang aku ini pembaharu).

***
bumiimajibabarsari, 6 november 2003