Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Sabtu, 22 November 2008

Datuk Penjinak Jalan

(dimuat Harian Batam Pos, Edisi 31 Desember 2006)

“Bang, tadi siang kawanku ngasih tahu, ada orang Bandung datang, ngajak Abang adu balap,” kata adikku sewaktu aku tengah memandikan motor Yamaha RX King-ku setelah puas dia kubawa berlari di hamparan pasir pantai Pasir Padi yang sedang berair surut.Sialan! Belum pernah malu orang itu rupanya!

“Kapan dia maunya?”

“Tergantung Abang, kata dia. Abang maunya kapan, dia setuju saja.”

Sialan kuadrat! Nyari penyakit, orang itu datang jauh-jauh ke sini! Memangnya dia titisan Popo Hartopo? Siapa takut!

“Bilang ke kawanmu, Abang kapanpun mau. Malam ini juga oke!”

“Okelah, Bang. Sip pokoknya! Aku ngeSMS kawanku dulu.”

***

Pernah kaulihat sebuah motor bermesin dua tak melesat secepat kilat dengan cukup selenting raungan di jalan raya sepanjang kota Pangkalpinang? Atau malah sering? Kalau iya, syukurlah. Kalau belum pun, tak apa-apa. Tapi kautahu siapa pengendaranya?

Perkenalkan, namaku Oji. Pria. Umur belasan tahun. Tinggal di kampung Melintang. Belum kuliah. Mungkin tidak akan pernah kuliah. Tentu saja belum menikah. Hobiku? memacu motor secepat kilat! Tidak ada hobi lain. Pernah kucoba bermain gitar. Tapi tidak berkembang. Bisa cuma tiga jurus, C-F-G. Kalau ikut kursus, harus bayar. Kalau aku ngamen, ayahku akan menentang. Ayahku pernah bilang, “Main gitar saban malam, mau jadi pengamen macam pengemis? Bikin malu Ayah!”

Sempat kepikiran jadi kuli di tambang liar milik pamanku. Upah besar. Bisa foya-foya di akhir pekan. Kata orang pandai, otot dan otak itu dihargai secara berbeda. Tapi? ah, itu kata orang pandai yang lalai menghitung hal-hal tak terduga, termasuk nyawa. Lebih dari seratus orang telah dikubur hidup-hidup di lubang penambangan. Aku urung. Gengsi, lulusan SMA jadi kuli begitu. Kalau jadi pegawai negeri? Paling-paling jongos.

Aku hanya mau jadi pembalap, pembalap jalanan. Sudah lebih menguntungkan. Ikut balapan resmi dengan imbalan hadiah sekian juta rupiah? He he he he? Tidak saban bulan ada lomba balap resmi. Juga kurang menantang. Kalau di jalanan? Wah, lebih menantang sekaligus menguntungkan.

Kami bisa setiap malam adu balap, adu uang. Terlebih malam Minggu. Soalnya, malam Minggu selalu banyak pesertanya. Dari dalam dan luar kota. Penonton pun ramai di pinggir-pinggir jalan. Menonton saja, atau ikut pasang taruhan. Semakin malam, harga taruhan semakin naik karena pesertanya semakin terseleksi. Peserta yang tereliminasi sejak putaran pertama, silakan menjadi duduk manis di barisan penonton. Polisi lalu lintas? He he he? Tantangan mengasyikkan!

Orang-orang sekotaku pun tahu. Setiap aku mengendarai motor Yamaha RX King Cobra-ku di jalan, orang-orang akan langsung diam. Anak-anak, orang dewasa, dan para lansia. Yang sedang berkendaraan, akan segera minggir, lalu duduk santai di jok kendaraan mereka. Yang sedang berjalan di trotoar, akan minggir ke daerah lebih tepi karena aku bisa tiba-tiba nyelonong ke trotoar demi variasi aksiku. Yang sedang beraktivitas di dalam bangunan, spontan berhenti, lalu bergegas ke pintu atau jendela. Yang nekad menjalankan kendaraannya, langsung kususul dan dahului.

Aku tahu, dalam benak mereka tergambar diriku dan aksi-aksiku yang paling sinting sepanjang sejarah perkebutan jalanan. Mereka pasti selalu menunggu-nunggu aksiku berikutnya. Baru kuhidupkan motorku di garasi, para tetangga sudah berhamburan dan berdesakan di pagar rumahku. Karena mereka sesungguhnya paham bahwa aku adalah raja jalanan di kota ini. Motor Yamaha RX King Cobra itulah tahtaku.

Tapi seringkali terlambat. Kalau mereka bergerak ketika mendengar suara motorku, tinggallah suara keluh-sesal dan wajah kecewa mereka. Ketahuilah, kecepatan motorku melebihi kecepatan suara. Secepat kilat. Kilat selalu lebih dulu muncul, baru disusul gelegarnya. Begitu juga motorku. Bagaimana aku memodifikasi mesinnya? Oh, itu rahasia! Boleh, kan, raja punya rahasia?
Untuk meraih mahkota raja jalanan, perjuanganku tidak main-main. Pertama-tama dari jalan kampung kami dengan motor bebek ayahku, lantas merambat ke jalan-jalan kampung lainnya. Jalan-jalan yang kulewati setiap pulang sekolah juga arena pacu motorku. Lawan-lawanku mula-mula kawan kampung dan kawan sekolah. Terus menyebar ke anak-anak kampung lain dan sekolah lain. Dan bukan hanya di jalan aspal. Trotoar pun bisa jadi bagian dari sarana laju roda motor kami.

Dibanding dengan motorku sekarang, kecepatan motor bebek ayahku dulu memang masih di bawah standar. Tapi sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan lawan-lawanku. Bukan motornya, tapi siapa pengendaranya. Aku tidak tahu apa resikoku andai celaka. Orangtuaku sendiri sudah tidak pernah lagi menasehatiku. Bagiku, yang penting ngebut, jadi pemenang! Dapat duit juga. Orang-orang kagum. Musuh-musuh minder.

Jangan heran, aku sudah menguliti jalan Krakas, jalan Pahlawan Duabelas hingga seluruh jalan di Pangkalpinang serta hamparan pasir pantai Pasir Padi, entah saat air surut maupun pasang. Terus jalan Benca, jalan Koba, jalan Pemuda Sungailiat, dan entah mana lagi. Rute pergi-pulang Pangkalpinang ? Sungailiat, Pangkalpinang ? Muntok, Pangkalpinang ? Koba, Pangkalpinang ? Tobuali, Pangkalpinang ? Tanjungpandan, dan Pangkalpinang ? Manggar pernah kugilas dalam waktu super singkat.

Paling rawan rute Pangkalpinang - Koba. Badan jalannya selebar lima meter saja. Lalu lintas padat, dan semua melaju kencang seperti dikejar hantu. Saban hari pasti ada kecelakaan dan kematian di sana. Tapi mereka semua tidak ada apa-apanya dibanding asap knalpotku. Para pembalap kelas kota maupun kampung selalu berjarak puluhan meter di belakangku. Jelas aku lebih sering tampil sebagai pemenang daripada pecundang. Duit, decak kagum, dan... ah, biasa.
Ketahuilah, aksi yang kusuguhkan bukan sekadar kecepatan, melainkan pula atraksi-atraksi paling sulit dan rumit. Ada seninya.

Dalam keadaan ngebut, aku jarang memindahkan porseneling dengan kaki. Aku tengkurap di tangki, lalu memindahkan porseneling dengan tangan. Kadang telentang di jok, kaki-kakiku mengendalikan stang. Atau berdiri di atas jok motor sambil mengirim SMS. Atau dalam beregu, aku berani pindah dari motorku ke motor kawan ketika kecepatan melebihi 140 km/jam. Tikungan gawat, tanjakan berkelok, lalu-lalang kendaraan yang lain, adalah biasa.

Oleh karenanya banyak orang menggelarku: Raja Jalanan, bahkan kawan-kawan dan lawan-lawanku menjuluki aku “Datuk Penjinak Jalan”. Koran Bangka Pos, Babel Pos, Pos Belitung, dan Rakyat Pos pun setiap hari memberitakan sepak-terjangku. Tabloid mingguan Babel Ekspres malah menulis kisahku sepanjang dua halaman penuh tanpa ada secuil iklan pun! Mereka tidak lagi mengenal tokoh Ali Topan, si Anak Jalanan itu. Mereka hanya tahu saat ini ada King Oji, Sang Datuk Penjinak Jalan. Aku sangat bangga. Umurku baru semuda ini bisa jadi raja jalanan, bergelar datuk pula!

Sebagai raja atau datuk yang disegani, aku harus siap meladeni segala tantangan, baik tantangan siapa, rute, harga taruhan, kendala kondisi alam, kondisi jalan, maupun polisi. Kata koran daerah kami, tahun ini ratusan nyawa melayang, ratusan yang cacat dan ribuan yang luka parah akibat kecelakaan lalu lintas alias ngebut di Bangka Belitung.

Yang pernah lucu di jalur dua Pemuda Sungailiat yang remang. Terjadi dua kali adu kambing dalam hitungan hampir satu menit. Keempat pembalap mampus semua.

Menurutku, kecelakaan memang semata suratan takdir. Tapi kalau orang pandir nekad adu ngebut atau berlagak macam pembalap? Ya matilah kau! Minimal gegar otak parah lalu menjadi penghuni tetap di rumah sakit jiwa Parit Padang Sungailiat.
Surat Ijin Mengemudi? Kami, pembalap jalanan, yang telah diuji langsung dan mempertarungkan nyawa, tidak usah lagi susah-susah mengurus SIM. Bukan hal aneh di daerah kami bahwa memiliki SIM itu mudah. Cukup sediakan uang 200 ribu rupiah, beres. Mau rombongan atau sendiri, gampang. Tinggal nanti antri untuk foto dan tanda tangan, satu hari SIM jadi. Tembak! Hanya Surat Ijin Membalap yang belum kami miliki.

***

Semula aku berpikir, bagaimana kalau adu balap diadakan pada hari Minggu di pantai Pasir Padi. Biasanya hari-hari itu orang Pangkalpinang tumpah-ruah di sana karena itu satu-satunya kawasan wisata bahari yang menjadi kebanggaan kami. Sambil mandi di laut, bercengkerama dengan kekasih atau keluarga, menikmati es kelapa muda beserta lezatnya empek-empek, atau sekadar memandang kapal-kapal besar pengangkut penumpang dan pengangkut barang lalu-lalang di tengah laut, orang-orang pasti bakal berpaling lantas tersihir oleh pesona aksi balapku. Atau, di seberang jalan, di lahan yang kini telah disulap menjadi ajang adu balap. Pasti ramai. Pasti banyak penontonnya. Pasti banyak petaruhnya (Ssssst! Jangan bilang mereka judi ya, tapi uji nyali atau adu keberuntungan dalam mempertaruhkan duit mereka).

Ah, terlalu lama kalau aku harus menunggu Minggu. Hari ini baru Selasa. Menunggu Minggu, kelak malah dikira aku ini pengecut dan sengaja mengulur waktu. Raja Jalanan alias Datuk Penjinak Jalan bukan pengecut, you know! Polantas, yang katanya, naik motor besar atau sekaliber Valentino Rossi pun tidak sanggup mengejarku. Malahan motorku pun lebih cepat sepersekian detik dibanding peluru.

Tidak usah menunggu Minggu. Aku, King Oji, Sang Datuk Penjinak Jalan, pantang bagiku untuk menghindar dari tantangan. Catat itu!

Tulalit! Tulalit! Tulalit! Kuraih HPku di atas meja bertabur mur dan baut.

“Bang, sudah jam berapa ini? Sudah ditunggu publik di jalan Jenderal Sudirman!”

“Oke! Oke! Dua menit lagi. Tunggu!”

“Dekat lampu merah, Bang!”

Sialan! Aku baru ingat, sebentar lagi aku akan beradu ketangkasan dengan orang Bandung itu. Jalan Jenderal Sudirman bukan sirkuit tak resmi yang baru bagiku. Hampir setiap malam Minggu, dari jam sembilan sampai dini hari aku menguasai jalan mulus tanpa penerangan jalan di antara bangunan-bangunan pertokoan, gedung walet nan padat lalu-lintas kendaraan itu. Dari motor 125 cc, 250 cc hingga 500 cc akhirnya takluk di ujung asap knalpot motorku. Motor mereka boleh bagus, mutakhir, dan canggih. Tapi, sekali lagi, catat, tergantung siapa pemegang kemudi. Dan, jangan lupa, kemujuran. Ya, kemujuran. Catat itu!

Segera kuhidupkan motor andalanku setelah kukenakan perlengkapan balapku. Seperangkat kostum terbaik. Warnanya kuning. Tidak perlu helm karena penerangan jalan sangat minim dan kaca helm berwarna gelap. Pandangan tidak bisa maksimal.

Greng! Breeeng! Ngueeeeng!! Aku keluar dari garasi. Serta-merta tetangga berhamburan, ingin melihatku beraksi. Beberapa diantaranya langsung menyambar motor, menguntitku, lantaran ingin menyaksikan siaran langsung aksi balapku. Aku tidak peduli sebab aku harus secepat mungkin tiba di tempat perjanjian.

Satu menit koma empat puluh tujuh detik aku sudah sampai di tempat yang disepakati. Bulan bersembunyi di balik gedung-gedung walet. Rupanya orang-orang sudah memadati trotoar di tepi jalan tanpa penerangan itu, kecuali remang karena pantulan lampu-lampu teras pertokoan. Ada yang sambil duduk santai di warung-warung kaki lima yang menyajikan thei fu sui1 beserta lemper, kue cang, lepet bugis, empek-empek, martabak, dan lain-lain. Ada yang duduk-duduk di jok motor, atap mobil, teras lantai dua pertokoan, dan di mana-mana. Kanak-kanak sampai kakek-kakek. Pria dan perempuan. Mereka kelihatannya sudah tidak sabar menantikan pertarunganku kali ini. Barangkali mereka berpikir, apakah malam ini gelar Datuk Penjinak Jalan masih layak kusandang. Pikiran konyol!

Seorang pria berkostum balap berwarna merah menyala sedang asyik duduk di jok motor Kawasaki Ninja-nya sembari menghisap rokok. Posisinya berada di tepi garis start yang dibuat dari kapur tulis. Aku yakin orang inilah penantangku.

He he he he? Belum tahu dia! Dia belum pernah merasakan sedapnya asap knalpot motorku. Sabar, Boy? Sabaaaaar? Si Datuk tak akan seenaknya menarik pelatuk pertandingan. Biarkan kawan-kawan yang mengaturnya. Terima beres sajalah.

“Bang, aturannya seperti biasa. Dia sudah tahu,” bisik adikku.

Aku cuma mengangguk. Kupikir, tidak usahlah kau sibuk soal aturan dan malah menasehati abangmu. Harus begini-begitu, lintasan dua kali bolak-balik. Dan lain-lain.

“Oh ya, Bang. Kayaknya kita pernah kenal orang itu. Lama sekali dia tidak muncul di arena. Dia bukan orang Bandung, Bang. Tadi dia bilang, dia dari?”

“Mau orang Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Surabaya, Bali, Makassar, Jepang, Amerika, Italia, bahkan orang dari akherat pun masa bodoh! Kau lupa, sudah berapa ribu pembalap jalanan dari kota di seluruh Indonesia yang pernah kukentut di kota ini, hah?!”

“Oke! Oke! Selesai pertarungan kelak Abang akan tahu sendiri.”

Tidak sampai satu menit, kawan adikku sekaligus panitia tunggal acara balap tak resmi ini segera memberi aba-aba. Spontan lawanku membuang sisa rokoknya, lalu menghidupkan motor dan berposisi siaga.

Satu? Dua? Tigaaaa? Bendera terangkat.

Ngueeeeeng! Kami meluncur bersamaan dengan tarikan gas yang dalam. Sebentar langsung menuju jalan sedikit menikung. Posisi kami sejajar. Sama-sama meniarapkan badan di atas tangki motor. Sama-sama kian kencang. Sama-sama saling menoleh, saling menatap. Roda depan kami pun saling mendahului. Lampu depan motornya lebih terang. Pertarungan paling seru dan mendebarkan dalam sejarah balapku! Memang, saban balap, bagiku, selalu mendebarkan. Tapi kali ini lain dari sebelumnya. Lawanku satu ini?

Sialan! Boleh juga orang ini. Eh, kayaknya aku kenal. Bukan orang baru. Dari gayanya. Cara mengendarai motor. Mmmm? Tapi siapa ya? Ribuan rival telah kukalahkan. Orang ini rival keberapa ya? Mmm? Ah, masa bodoh! Yang penting dia harus akui aku, King Oji, Sang Datuk Penjinak Jalan! Cuma kematian yang mampu menghentikanku! Catat itu!

Menjelang ujung lintasan pertama, orang itu merogoh lipatan kostumnya. Mungkin mau pamer aksi lainnya. Di luar dugaanku, dia menarik sesuatu lantas diarahkan ke kepalaku. Sebelum aku sempat meliriknya,... Dor!

Seketika semua gelap gulita.

***
Pangkalpinang, Agustus 2005

Keterangan: 1) susu kedelai

Tidak ada komentar: