Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Sabtu, 22 November 2008

Belang

(dimuat Harian Batam Pos, edisi 21 Januari 2007)

Pagi sudah pergi beberapa jam lampau. Panas meriap di atap rumah kami sembari menanti langkah Inah tergesa-gesa di tepi jalan aspal menuju rumah kami. Daster lusuhnya berkibar-kibar seperti hendak menyapu debu-debu di sekitarnya. Sementara di pojok halaman depan rumah kami, Ibu saya membersihkan tunas-tunas rumput liar yang mengotori sebuah pot kecil berisi kantung semar.

Seperti merasa ada sesuatu, Ibu menoleh ke jalan. Tak lama kemudian Inah muncul di depan pintu pagar. Tumben Inah baru datang jam segini, batin Ibu. Sendirian lagi.

Tapi Ibu pura-pura tidak tahu. Beliau berpaling kembali ke pot kantung semarnya di antara puluhan pot berisi bunga-bunga kesayangannya. Inah masuk seperti biasa. Merogoh kaitan kunci, membuka pintu pagar, lalu mengaitkan kuncinya kembali. Ibu pura-pura kaget seraya menoleh ke pintu pagar. Beliau melihat sosok Inah sekilas. Rambut ikalnya yang dipermak mirip bonsai tampak tidak teratur. Bibirnya menarik garis melengkung ke bawah. Bola matanya merah. Kantung matanya bengkak. Kondisinya semakin jelas ketika ia mendekati ibu.

“Tampangmu kenapa hancur begitu, Nah ?”

“Suntuk memikirkan Belang, Bu. Tadi malam sampai saya tidak bisa tidur. Mana sampai satu bulan ini Abu-abu juga sudah tidak ketahuan raib di mana.”

“Pantesan kamu sendirian. Memangnya ke mana dia ?”

“Kalau saya tahu ke mana, ya tidak saya cari, Bu.”

Ibu tersenyum saja. Beliau bisa memahami kondisi keseharian Inah yang telah kami kenal sejak setengah tahun menjadi tukang cuci dan setrika orangtua kami untuk paruh waktu, terutama ketika kucing-kucingnya mengalami masalah, semisal hilangnya Abu-abu. Sebenarnya Ibu tahu di mana Abu-abu berada. Menurut kasak-kusuk tetangga, Abu-abu dikarungi goni lalu dibuang oleh tetangga kami yang bekerja sebagai pedagang ikan segar dan ikan asin karena kucing itu kepergok mencuri sepotong ikan asin yang sedang dijemur untuk dijual. Memang, jika Inah lengah karena sibuk mencuci baju kotor sebanyak dua ember besar, Abu-abu sering menyelinap ke halaman belakang rumah tetangga kami itu.

***

Tentang perlakuan penjual ikan itu, bukan cerita baru bagi keluarga kami. Jauh-jauh tahun sebelum Inah pindah ke kampung kami, kucing kami pernah mengalami siksaan yang cukup berat yakni kaki belakangnya dijerat tali hingga nyaris putus. Penyiksanya ya penjual ikan yang genit, yang beristri tiga tapi masih saja suka menggoda gadis-gadis dan ibu-ibu itu. Gara-garanya, ya, mungkin sama. Kami berani menuduh demikian setelah mencium bau anyir ikan di sekujur tubuh kucing kami.

Ibu sengaja tidak memberi tahu Inah soal nasib Abu-abu dulu. Sebab, kalau beliau memberi tahu, bisa-bisa Inah memaki orang itu dengan sebutan “Anjing!” lantas ribut dengan tetangganya, dan ngambek beberapa hari, yang berarti pula banyak pakaian kotor Ibu bakal terbengkalai. Bukannya Ibu tidak mau mencuci sendiri karena toh ada mesin cuci di rumah kami, melainkan beliau tidak tega melihat Inah pusing memikirkan ekonomi keluarganya sejak ditinggal kawin lagi oleh suaminya hampir satu tahun ini. Kadangkala Inah membawa anak-anaknya menginap di rumah orangtua kami untuk menemani Ibu karena kami, anak-anaknya, sudah berumah tangga dan tinggal di rumah kami masing-masing yang rata-rata bisa ditempuh dengan dua kali naik angkutan umum. Sedangkan ayah lebih sering menginap di salah satu rumah kami, bergiliran, tergantung keinginan ayah bila kangen cucu-cucunya yang mana.
Memang cuma kucing-kucing kampung dan berbulu jelek. Sama sekali tidak bergengsi dibanding kucing impor semisal Angora. Tapi Inah sangat menyayangi mereka. Baru dua minggu ini Belang diajak Inah ke rumah kami. Di mana Inah berada, di situ pasti ada Belang.

“Ya sudah, sekarang kamu nyuci sana. Biar tidak numpuk, bikin kamu repot sendiri. Tapi hati-hati nanti nyetrika baju dalamku, Nah. Besok malam mau kupakai untuk latihan dansa.”

Inah tidak menyahut. Ia langsung ngeloyor ke belakang lewat jalan samping rumah kami menuju tempat cuci. Ibu saya melanjutkan kegiatannya merawat bunga-bunga. Namun Ibu jadi teringat kelakuan Belang dan Abu-abu dulu. Saking asiknya bersenda gurau dan berkejaran, kedua kucing itu menyenggol guci antik, oleh-oleh dari teman Ibu ketika pulang dari Hongkong. Guci Tiongkok itu sengaja ditaruh Ibu di ruang tamu sebagai pajangan di antara benda-benda bercitra seni dan harga tinggi milik Ibu yang, kata Ibu, diberi oleh beberapa teman fitnesnya sepulang dari luar negeri. Kalau bukan demi kemanusiaan, Inah sudah dipecat !

***

“Mbah, Belang kini sudah bandel.”

“Belang atau Abu-abu ?”

“Belang, Mbah. Abu-abu entah di mana. Entah dibuang, dibunuh, diculik atau dimakan orang. Orang jahat, Mbah ! Tidak punya perasaan ! Anjing !”

“Duh, Belang, Belang, ada apa denganmu, Belang ?”

“Belang tidak seperti dulu, Mbah. Susah diatur sejak ditinggal kembarannya.”

“Kini seperti apa dia ?”

“Sudah besar, Mbah ! Emmm? sebesar apa ya ?” Inah menoleh ke samping kanan-kirinya.

Matanya mengitari ruangan. Ia sedang mencari sesuatu sebesar kucingnya, Belang. Pria tua yang disebutnya “Mbah” itu pun ikut-ikutan mencari.

“Emmm? Nah, segitu itu, Mbah,” sambungnya seraya menunjuk botol yang berisi minyak tawon di rak obat. “Tolong ya, Mbah. Saya khawatir sekali pada nasibnya kelak.”
Mata orang tua itu langsung terpejam. Serta-merta kulit keriput keningnya berkerut-kerut. Mulutnya komat-kamit, melafalkan mantera-mantera. Inah diam. Ia paham apa yang sedang dilakukan orang tua itu. Tak sampai dua menit, mata orang tua itu terbuka.

“Belang masih berada di sekitar rumahmu. Dia sedang indehoy di rumah pujaan hatinya.”

“Dasar gatal ! Kecil-kecil mau kawin !”

“Sabar. Dia pasti pulang dan akan patuh seperti Abu-abu atau kucingmu lainnya. Setelah satu setengah jam perjalanan pulang dari sini nanti, kamu bisa lihat Belang tidur nyenyak di kasurmu. Beri ramuan ini seperti untuk kucing-kucingmu dulu.”

“Baik, Mbah. Bermilyar terima kasih !” Wajah Inah cerah. Senyumnya menyeruak lepas.

Dibayangkannya Belang seperti Kuning, Hitam, Telon dan kucing-kucing sebelum ada Belang dan Abu-abu; patuh dan manja sejak diberi ramuan dari tua bangka itu. Kemudian ia bermaksud mohon diri sesudah menyelipkan amplop kecil berisi uang di bawah taplak meja.

“Hari belum jam delapan pagi, Nah. Mbah butuh kamu temani. Sebentar saja. Mumpung istri Mbah ke pasar, dan pulang agak siangan,” jawab orang tua itu sembari beringsut mendekati duduk Inah di kursi beranyam rotan yang banyak bolongnya. “Kan Inah sudah lama tidak?”

***

Masih pagi. Ceracau sepasang burung gereja melintasi ruang makan rumah Inah.

“Kalian, kan, bisa makan lauk tempe dan minum teh pahit saja ?!” bentak Inah sewaktu ia memergoki anak-anaknya yang sedang menikmati susu dan daging kornet untuk Belang yang telah pulang kemarin siang. “Siapa yang suruh menghabiskan tempe goreng tadi malam ?!”

Dua anaknya yang bersiap untuk berangkat sekolah itu tidak berani menyahut. Keduanya menunduk seakan menyembunyikan wajah pucat mereka. Kecuali wajah si bungsu, yang baru berumur tiga tahun dan asik bermain mobil-mobilan kayu yang kemarin sore dibuatkan oleh si sulung. Kemarahan emak mereka serupa tahun lalu ketika mereka memakan ikan bandeng presto untuk makanan Kuning, Hitam, dan Telon. Mereka juga takut kalau-kalau emak mereka tidak memberi uang jajan selama satu minggu.

“Kalau makan jangan seperti orang yang tidak pernah makan ! Tempe goreng yang biasanya bisa untuk dua hari, malah dihabiskan dalam sekejap malam ! Sarapan pakai lauk apa ?! Kan sudah Emak beri jatah sepotong tempe per orang ?”

***

Meooong ! Meooong !

Inah dikagetkan oleh lolongan kucingnya. Serta-merta ia menghentikan bilasan pakaian kotor Ibu. Bola matanya bergerak mencari tempat asal suara yang dikirimkan langsung dari telinganya. Waduh, Belang terkurung di mana ya ? Gawat ! Inah beranjak.
Belang? Belang? kamu di mana ? Inah bergumam sambil berjingkat-jingkat ke ruang tengah melewati dapur dan ruang makan. Dalam hati ia juga cemas jika suara kucingnya membangunkan Ibu yang tadi, katanya, mau beristirahat sebentar sepulang dari aerobik.
Kamu bandel sih, Lang. Coba kamu tidur saja di dekat aku mencuci. Tapi kasihan juga kamu, Lang, jatah susu dan kornetmu dihabiskan anak-anakku tadi pagi, gumamnya lagi.

Meooong ! Meooooong !

Kucingnya terus melolong seperti sedang ketakutan lantaran diburu-buru sesuatu. Disusul suara benda-benda jatuh bahkan pecah. Inah terus mencari letak suara kucingnya hingga makin jelas berada di kamar tidur tamu yang biasanya dipakai jika ada saudara kami menginap.
Ternyata kamu tersesat di sana. Tunggu, ya, Nak, Mama akan menolongmu?

Ia mendekati pintu kamar itu. Pendengarannya disiapkan lebih tajam agar ia bisa juga mendengar sewaktu-waktu Ibu membuka kamar tidur karena terganggu lolongan Belang. Mudah-mudahan ibu tidak dengar, gumamnya.

Meooong ! Meooooooooooooong !

“Tadi kunci pintunya kamu taruh di mana, Say ?” bisik seorang wanita.

“Bangsat ! Rupanya kucing lonte ini habis nyolong ikan daganganku. Tuh lihat di kolong ranjang, tinggal kepala,” sahut seorang pria dengan suara agak jelas. “Awas ya ! Mampus kau !”

“Anjiiiiiiiing, jangan bunuh Belangku !!” teriak Inah sambil sekuat tenaga menggedor-gedor pintu kamar itu.

***

Gang Jablay, 2006

Tidak ada komentar: