(dimuat di Harian Sore SINAR HARAPAN, Sabtu, 29 Juni 2013)
Sambil menyantap sarapan nasi kuning plus telur dadar, saya berpesan kepada pemilik warung dekat tempat
kerja saya, “Nanti siang semur jengkolnya disisakan kayak biasa, ya, Pak?”
“Tidak ada, Bang. Gara-gara harga BBM naik dan langka.”
Seketika terasa nasi berubah kerikil dan telur dadar berubah
lempengan plat baja. Apa-apaan ini, pikir saya. Harga BBM naik dan mulai
langka, jengkol malah langka terlebih dulu dari peredaran? Ini sudah tidak keterlaluan! Sudah tidak
nasionalis! Tidak NKRI-is!
“Subuh-subuh saya sudah keliling seluruh pasar, Bang.
Rencananya sekalian biar bisa antri BBM pagi-pagi. Belanja bahan, beres. Soal
BBM juga beres pagi-pagi. Tapi…”
“Terus?” celetuk seorang pria di belakang saya. Pria
brewok yang tadi saya lihat dan hanya memesan kopi.
“Saya tidak tahu, Mas. Bisa jadi besok, lusa, minggu
depan, dan entahlah… Jengkol belum ada kabar. Ini gara-gara harga BBM naik,
Mas.”
*
Berita pagi tadi terasa paling tidak nikmat dalam seluruh
acara sarapan apalagi sejarah kuliner saya selama ini. Juga mengusik
konsentrasi kerja saya. Nanti, makan siang, lauknya apa karena jengkol tidak
ada? Cuma tempe? Kasihan banget, tempe
tidak ada temannya.
Beginilah resiko di perantauan, di kota yang lumayan
besar. Tidak seperti di kampung sendiri. Jengkol, atau jering dalam bahasa kampung saya, tidak sulit didapat. Di belakang
rumah orangtua saya ada satu pohonnya, milik tetangga. Subur sekali.
Jering itu
selalu tampil beda dan menggoda. Kulit buahnya keungu-unguan di antara segala
hijau yang mendominasi. Ya, saya ingat, di sekitar pohon jering itu, ada pohon cempedak, rambai, rukem, jambu bandar,
belinju, nangka, dan entah apa lagi.
Kebun itu seperti dipayungi. Rindang sekali. Tempat saya
dan kawan-kawan sebaya SD saya bermain pada siang hari, sepulang sekolah. Koboi-indian,
perang-perangan, gom kaleng, kejar-kejaran, balap-balapan, kelereng.
Pohon-pohon itu pun kami panjati. Main rumah-rumah pohon, pesawat ruang
angkasa, perang-perangan, bernyanyi dangdut, dan lain-lain.
Tapi pohon jering
pernah menjadi cerita kami. Kata orang-orang tua di kampung kami, pohon itu ada
penunggunya. Jin jering, namanya. Jin
itu muncul menjelang magrib. Siang hari, mana ada jin? Kami tidak mengerti karena
kami tidak pernah bermain di sekitar situ sampai kira-kira jam lima sore.
Waktu itu ada sarang tabun
guci. Besarnya separuh guci atau galon air mineral. Warna sarangnya coklat
tanah. Dengan betet alias ketapel,
kami iseng-iseng menembakinya setelah gagal mencari burung liar. Lima kerikil
melesat. Bus! Tembuslah dinding sarang tabun
guci. Disusul lima berikutnya. Bertubi-tubi.
Tabun-tabun keluar. Warnanya hitam bersabuk
kuning. Sebagian memeriksa dinding yang rusak. Sebagiannya lagi beterbangan di
sekitar pohon jering, mencari musuh
yang merusak rumahnya alias kami. Sontak kami berlarian ke segala arah demi
menyelamatkan kepala dari sengatan di pantatnya.
Dalam pelarian kami ketemu tetangga, pemilik kebun.
Tangannya melayang, nyaris terkena kepala kami. Kami tidak takut. Beberapa
waktu kemudian kami mengendap-endap ke sana lagi. Menembaki sarangnya lagi, dan
lari berhamburan lagi.
Beberapa hari kemudian hancurlah sarang tabun. Dari bawah kami melihat, sarang
itu kosong. Tetangga kami, pemilik kebun itu, pun datang membawa satang berupa kayu sepanjang sepuluh
meter yang disambung-sambung, dan ujungnya diselipkan pisau berposisi
tegak-lurus. Dia menuju pohon jering.
Tetangga kami pasti mau memetik buah jering.
“Katanya, jering
itu ada penunggunya, Wak?”
“Iya, Uwak, jin jering.
Nanti kalau marah, kami yang kena bala.”
“Tenang, jin jering
sudah uwak taklukkan.”
Kami saling memandang sambil terkagum-kagum. Sakti juga
tetangga kami ini. Kami ikuti saja ke pohon jering.
Ya, kami mau membantunya. Mengarahkan, memungut, dan mengumpulkan di satu
tempat. Begitu sudah banyak, masing-masing kami diberi beberapa buah dan kami
jadikan baju kami sebagai tempatnya untuk kami bawa pulang.
Sampai di rumah, saya malah dimarahi emak. Getah-getahnya
menodai baju, dan tidak bisa dihilangkan. Tapi, jering melumerkan kemarahan emak. “Rendam dulu, besok baru
dimasak,” kata emak. Segera saya letakkan di ember bekas sabun colek.
Besoknya, jam satu siang sepulang sekolah, saya sudah
menikmati lempah jering. Nasi hangat dan lempah
jering. Betapa sedapnya! Alangkah
lahapnya saya. Lantas, bermain lagi dengan kawan-kawan di kebun itu, di dekat
pohon jering. Tidak peduli cerita
orang-orang tentang jin jering.
*
Semur jengkol hangat, aromanya masyuk, dagingnya empuk, hmmm…
Wajah emak selalu senang melihat kelahapan saya menyantap semur jengkol sebab
saya tidak pernah merengek minta rendang, ikan panggang, atau sate ayam. Tiada
satu daging teramat nikmat selain jengkol yang disemur, dan dilumat bersama
nasi hangat.
“Bang, ngelamun aja nih sampai dekat jam makan siang?”
“Oh. Sorry.” Saya kaget atas teguran rekan kerja saya
dari arah belakang.
“Masalah nunggak kos-kosan, jangan dibawa-bawa ke kantor dong,
Pak Oji!” tambah rekan saya yang perempuan. “Nanti kena SP 2, dikira kami yang
ngadu ke bos.”
“Sorry. Sekali lagi, sorry.”
Benar-benar sorry.
Rekan-rekan komplain. Pekerjaan sedang sibuk. Dokumen-dokumen harus disiapkan.
Besok, sebelum makan siang, harus sudah masuk. Terlambat lima menit, sudah
pasti gugur. Bagian saya adalah memeriksa redaksionalnya. Jangan ada kalimat
yang keliru. Jangan ada hal penting yang ketinggalan. Mana semua berbahasa asing.
Kalau tidak selesai sampai sore, alamat mereka bakal
lembur hingga larut malam. Tugas saya bisa saja selesai selepas magrib. Tetapi
tidak begitu dengan rekan-rekan lainnya. Mereka harus mencetak, menyusun,
menjilid, dan mengemasnya sebelum dimasukkan ke sebuah bank yang ditunjuk
sebagai tempat pendaftaran dan pengumpulan dokumen tender.
Tidak terasa malah sudah… Menjelang jam makan siang? Nanti,
makan siang, lauknya apa karena jengkol tidak ada? Cuma tempe? Kasihan banget, tempe tidak ada
temannya.
*
Selama satu hari ini, saya bekerja kurang fokus. Jam
makan siang juga tidak saya manfaatkan untuk makan. Saya hanya berinternet,
ngobrol dengan entah siapa saja. Selera makan siang saya lenyap gara-gara
jengkol yang sedang ‘sembunyi’. Sangat menjengkelkan.
Selepas magrib saya pulang. Biasa, naik angkot. Ongkosnya
sudah naik gara-gara harga BBM naik. Harga BBM naik, sama sekali tidak ada
kabar apakah gaji saya bakal naik, atau tunjangan transportasi juga naik.
Ah, mana mungkin naik. Nilai tender tidak naik. Tadi saya
lihat, tidak ada harga yang dinaikkan agar menang tender. Malah selalu
diturunkan. Tender selalu begitu. Yang bernilai rendah justru jadi pemenang
tender. Maka, pastilah nilai tidak naik bahkan turun, tapi ongkos lainnya naik.
Perusahaan pasti nombok karena, kalau menang tender pun, pasti akan berpengaruh
pada nilai tender. Belum lagi “setoran” untuk beberapa panitia tender, termasuk
orang-orang kuncinya, yang malah minta “setoran komitmen” naik dari 20% menjadi
30%.
Ah, bukan urusan saya. Urusan saya adalah perut yang
mulai menuntut gara-gara tidak makan siang. Ya, urusan kampung tengah ini bisa
lebih mengganggu daripada memikirkan urusan “setoran komitmen”. Saya harus
menenangkannya sebelum sampai kos lantas tidur.
Di warteg dekat kos saya menunaikan “setoran komitmen”
dengan diri saya sendiri. Saya berharap ada semur jengkol. Tetapi harapan
tinggal harapan, Harahap pun entah di mana kini.
“Tidak ada, Bang. Satu hari ini aku sudah keliling semua
pasar.” Jawaban pemilik warteg mirip dengan pemilik warung dekat tempat kerja
saya. “Pasti ada yang menimbun jengkol.”
“Menimbun jengkol, Pak?”
“Iya. Aku dengar sih gitu. Gawatnya lagi, Bang Oji, kini
ada jin jengkol.”
“Jin jengkol? Apa lagi ini?” Diam-diam, sekilas, saya
kembali teringat pada jin jering.
“Bang Oji, biar kata orang aku ini kampungan, soal
jengkol aku sudah baca di koran.”
“Ada apa dengan jengkol dan koran, Pak? Apa jengkol jadi
korban kekerasan dan kasusnya masuk koran?”
“Ya bukanlah, Bang. Tapi harga jengkol bakal naik lima
kali lipat. Juga kini juragan jengkol tidak mau lagi jual di pasar-pasar kita. Sekalian
deh mereka jual ke luar negeri. Kalau dijual ke kita langsung, tidak
menguntungkan. Jin jengkol memborong dan menimbun jengkol.”
Selepas makan malam di warteg itu saya berjalan dengan
gontai menuju kos. Hidup terasa semakin berat saja. Gara-gara BBM, jengkol
menjadi korban. Mudah-mudahan, kalau kapan-kapan saya mudik, pohon jengkol
tetangga masih tegar menghadapi godaan ekspor.
“Berhenti dulu!” cegat seseorang di keremangan. Langsung
saya menoleh ke arahnya. Oh! Si brewok yang di warung dekat kantor tadi pagi. “Tidak
usah mencari jengkol! Cari makanan lain! Jangan coba-coba demo soal jengkol
kalau Anda masih doyan hidup!”
Saya tidak sempat menanggapi, si brewok sudah langsung
pergi sambil memperlihatkan gagang pistol di pinggang. Jangan-jangan jin jering sudah pindah ke kota?
Belum selesai berpikir, ponsel saya bernyanyi lagu
dangdut. Oh, dari rekan kerja saya.
“Halo?”
“Bang Oji, disuruh kembali ke kantor. Kata bos, banyak
kalimat yang keliru!”
*******
Balikpapan, Juni 2013