Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Sabtu, 22 November 2008

Danau Darah

(dimuat Harian Batam Pos, edisi 02 Februari 2008)

Pesawat menuruni puncak bebukit awan-gemawan setelah seorang interpreter menyudahi pemberitahuan tentang waktu, posisi pesawat, dan para penumpang diharap tetap mengenakan sabuk pengaman.

Aha, akhirnya saya kembali juga ke tanah kelahiran saya. Selamat tinggal tanah rantau. Selamat tinggal kenangan.

Angan-angan saya langsung melambung. Adik saya pasti sudah menunggu sambil melongok-longok dari kaca ruang khusus penjemput di bandara. Orangtua saya dan sanakkeluarga saya juga di rumah. Berkumpul dengan keluarga, bertemu kawan-kawan lama, berkenalan dengan orang-orang, bekerja, berkarya, kemudian bertemu dan berkenalan dengan seorang gadis, berkeluarga, ber… lain-lainnya. Aaaah! Berdebarlah dada saya.

Pada hitungan menit selanjutnya sekonyong-konyong sesuatu menyongsong dan memberondong saya. Eh, apa-apaan ini? Sempat saya tanyakan pada seorang penumpang di sebelah saya mengenai hal yang barusan saya alami. Dia bilang, tidak mengalami apa-apa seperti yang saya alami. Mungkin memang saya yang sedang aneh. Ya sudah, biarlah saya sendiri yang aneh. Saya tidak perlu menamparnya supaya dia menjawab sesuai dengan keinginan saya.

Tapi saya benar-benar telah mengalami sesuatu di dalam pesawat ini. Pertama, ketika pesawat mendekati langit muram di atas pulau bagian selatan, sayup-sayup telinga saya menangkap suara…

Ah, saya belum yakin. Saya pasang telinga seraya meningkatkan daya dengar, kerja jaringan syaraf dan kemampuan otak menerjemahkan suara. Ok, beres. Semua dibawah kendali. Suara sayup-sayup terdengar agak jelas, semakin jelas, lebih jelas, dan... Oh! Semacam suara berirama nan menyayat syaraf rasa. Lantunan luka. Senandung duka. Nada nestapa. Gema kemalangan. Astaga!

Saya kira itu semata-mata kesalahan daya dengar, kerja jaringan syaraf serta kepekaan otak saya dalam menerjemahkan suara. Barangkali kondisi diri saya sendiri yang sedang tidak normal, entah lantaran telinga sarat kotoran ataupun pikiran terlampau sering dijejali film-film horor di televisi. Mungkin begitu. Kemungkinan lainnya dari luar, misalnya efek dari tekanan udara, dengung mesin pesawat, dan lain-lain.

Pada detak detik berikutnya sebuah aroma menohok hidung saya. Segera syaraf mengirim informasi ke otak saya, otomatis diolah dan diidentifikasi. Aroma anyir diselingi bau bangkai. Waduh! Tidak terlalu menyengat, tapi cukup mengusik. Dari manakah bebauan ini?
Saya menggerakkan badan untuk memastikan di mana sumber bebauan itu di sekitar duduk saya. Pakaian yang saya kenakan, kursi, bawah kursi, sela depan dan belakang kursi, sekitar jendela di sebelah kanan saya. Nihil. Bebauan merata. Tiada perbedaan kuat-lemahnya.

Ah sialan, maki saya. Bagaimana bisa pesawat nyaris mewah bermesin boeing ini membiarkan aroma tak sedap bergerilya sampai di hidung saya? Kalau gara-gara bau ini mengakibatkan para penumpang jera dan calon penumpang tidak berminat memakai jasanya, baru tahu rasa! Bisa gulung sayap. Bisa bangkrut betul. Bertambah pula angka pengangguran di negeri ini.Pesawat mendekati langit di atas daratan hijau berbukit-bukit. Pikiran dan perasaan saya berkecamuk. Angan-angan, suara-suara dan bau-bau luka. Saat-saat penting siap dicatat alam lembar riwayat hidup saya. Tapi, astaga! Apa pula itu di sana?!

Dari angkasa saya melihat pulau, yang dulu pernah memangku orok saya, ternyata kini disemaraki lubang sarat muatan berwarna merah serta aliran merah ke pesisir pulau. Terlihat jelas sekali. Merah semerah darah, bergelenyar, berkilau-kilau disiram sinar matahari. Daratan di sekelilingnya terburai. Hamparan hijau telah bolong-bolong. Gila!

Ah, yang benar saja mata ini! Umur belum 30 tahun, masak sudah rabun.

Saya mengucek-ucek mata untuk memperbaiki daya penglihatan saya. Tidak berubah. Lubang tetap sarat muatan berwarna merah darah, bergelenyar, serta berkilau disiram sinar matahari.

Tapi ketika pesawat semakin merendah karena akan mendarat, warna semerah darah itu memudar sampai benar-benar tidak merah lagi. Disusul suara-suara dan bau-bau luka menyingkir. Terdengar suara merdu seorang interpreter memberitahukan bahwa pesawat sebentar lagi akan mengakhiri perjalanan ini.

Di bawah sana lapangan membentang dan bangunan utama bergaya tradisional lokal dengan kedua sisi samping atap agak mancung dan genteng bubungan terdapat tonjolan di tengah dan kedua tepinya. Beberapa pesawat parkir, termasuk pesawat angkut militer berbadan besar, dan mobil-mobil bercat putih. Selain itu, kotak-kotak kayu bersegi panjang tampak berderet-deret, mengantri masuk ke beberapa pesawat.

Wah, makin ramai saja bandara ini. Calon penumpang berdesakan. Barang-barang besar menunggu waktu pengangkutan. Sudah saatnya diperluas, dibangun fasilitas-fasilitas berkelas, dan media nama bandara bersejarah bertulis “Depati Amir” itu pun diperbarui agar tidak lagi kusam dan beku. Sialan, saya malah jadi rewel begini!

Begitu pesawat mendarat, membuka pintu keluar, dan para penumpang menginjak permukaan lapangan, melangkah menuju bangunan penerima kedatangan sambil sebentar-sebentar menoleh ke arah kegiatan orang-orang di lapangan serta sesekali mereka saling bicara, saya terheran-heran. Kotak kayu persegi panjang, kalau saya tidak silap, itu adalah peti mati alias pesawat jenazah. Bukan layaknya peti-peti kayu berisi barang-barang ekspor. Apalagi mobil-mobil bercat putih bertanda “palang merah” dan bertulis “Ambulance”. Orang-orang di sekitarnya berwajah dingin.

Sesampai di ruang pengambilan barang, saya disambut penjual koran lokal. Beberapa penjual majalah dan TTS pun mendatangi saya. Saya membeli satu koran karena saya tiba-tiba tertarik pada beberapa foto yang dimuat di halaman muka. Barangkali ada berita-berita lokal aktual yang harus saya ketahui. Sementara penjual media cetak lainnya meninggalkan saya, dan mendatangi penumpang lainnya.

Belum sempat melihat cermat-cermat dan membaca beritanya, saya dikagetkan oleh colekan seseorang. Tak pelak saya menoleh ke arah orang tersebut. Rupanya kakak kawan saya. Tapi kondisi fisiknya tidak seperti ketika saya berkenalan setahun lalu. Kakak kawan saya kini memakai tongkat penopang bagi tubuhnya. Katanya, akibat suatu kecelakaan kerja di sebuah tambang inkonvensional. Saya tanyakan, dalam rangka apa dia kemari. Jawabnya, mengantar adik (kawan saya). Tapi saya tidak melihat sosok kawan saya yang diantarkannya. Dia menunjuk pada salah satu peti di deretan agak belakang. Ya Tuhan!

Kemudian dia menceritakan, adiknya atau juga kawan saya meninggal akibat tertimbun dalam lubang tambang pada Sabtu kemarin sebelum adzan Azar. Mayat berhasil ditemukan setelah nyaris enam jam pencarian. Kedua matanya penuh pasir.

Saya tahu sedikit mengenai kehidupan kawan saya itu. Setahun lalu kami berkenalan di… Ya, di ruang ini juga. Bersama kakaknya ini juga. Mereka berdua baru datang dari seberang, hendak mencari nafkah di tempat yang sedang marak di sini. Dia hanya lulusan SD, dan berasal dari keluarga besar. Adik-adiknya berjumlah enam orang. Dia tidak melanjutkan sekolah lantaran orangtuanya tidak mampu membiayai lagi (saya curiga, itu cuma alasan klise karena sebenarnya dia malas belajar secara formal dengan tetek-bengek tuntutan kurikulum). Hampir lima tahun dia hanya tinggal di sebuah kampung pelosok Jawa Tengah. Sempat bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik konveksi dengan gaji rendah, lalu menjadi tukang parkir di sebuah tempat bilyard dan judi terselubung. Bosan dengan semua itu, dia merantau ke sini berdasarkan ajakan kakaknya. Sejak tambang-tambang rakyat (sebenarnya milik pengusaha, pejabat tertentu, masyarakat ekonomi menengah) menggeliat pesat, dia ikut mengambil kesempatan.

Sebelumnya, melalui telpon sebelum saya pulang, adik saya pernah berkisah tentang perkembangan daerah kami. Kata adik saya, kegiatan menguras alam yang semula dimonopoli oleh perusahaan tertentu dengan risiko tertentu pula bagi birokrasi, beberapa tahun terakhir bisa dilakukan oleh rakyat. Sebagian besar rakyat yang semula tidak pernah tahu seperti apakah bentuk aslinya, kini malah leluasa melihat benda itu. Kebun-kebun dan wangi-wangi lada tinggal bunga-bunga bibir orang-orang tua kampung kami. Lada tak lagi jadi primadona. Pupuk mahal dan langka. Harga junjung semenjak hutan-hutan ditelanjangi habis-habisan. Timah kembali jadi candu seperti puluhan tahun silam. Namun benda itu seolah sebuah kutukan yang meminta nyawa, termasuk nyawa kawan saya.

Saya bayangkan, alangkah sedihnya istri, anak-anak dan keluarga besar kawan saya. Kawan saya merupakan anak kedua, dan sejak kaki kakaknya mengalami cacat tetap, kawan saya selalu menjadi tulang punggung bagi perekonomian keluarga besarnya. Keuntungan dari tambang inkonvensional itu selama ini cukup mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Kata adik saya, rumah kawan saya itu megah seperti rumah-rumah orang kaya di kota termasuk perabotnya. Tapi, menurut petuah orang-orang tua di kampung kami dulu, alam di sini bukan alam yang bisu-tuli, beku atau mati, melainkan alam yang hidup, yang bernafas, berperasaan, dan selalu menuntut tanggung jawab yang tidak main-main.

Tulalit suara ponsel dari saku kakak kawan saya memenggal pembicaraan kami. Air mukanya tegang. Mungkin ada masalah. Kemudian dia mohon diri, ada yang harus diselesaikannya. Saya persilakan.

Berita duka itu langsung mengangkat ingatan saya tadi. Ditambah beritanya muncul di halaman muka koran, lengkap foto lubang tambang yang telah merenggut nyawa kawan saya. Menurut koran, kecelakaan maut ini merupakan kejadian yang ke-sekian ratus kali semenjak rakyat (tentunya dimotori oleh pemilik modal besar sebab harga sewa alat-alat berat terhitung jutaan rupiah per hari serta perlindungan pejabat atau aparat tertentu bahkan didukung oleh sebuah peraturan daerah) diberi keleluasaan menguras isi perut bumi pertiwi. Kematian nomor dua terbesar setelah kecelakaan sepeda motor, kata koran itu. Di halaman berikutnya termuat pula foto-foto lubang tambang di wilayah lainnya.

Oh! Lubang tambang! Lubang-lubang tambang yang pernah diibaratkan sebagai kolam susu dan madu, tambang uang, dan istilah-istilah lainnya itu tiba-tiba menyeret ingatanku pada lubang-lubang berwarna merah darah yang tadi saya saksikan dari udara.

Saya amati baik-baik lubang itu… Astaga! Lubang itu lamat-lamat basah. Saya tersentak. Belum sempat saya membetulkan mata saya, basahan itu menampakkan warna merah semerah… Oh! Itu darah! Darah! Darah! Tak salah, itu warna darah! Lamat-lamat tercetak pula mayat-mayat mengambang, padahal dalam foto terlihat wujud tanah melulu pada lubangnya. Darah menggenangi seluruh permukaan lubang.

Bagaimana mayat-mayat bisa mengambang di situ? Gila! Kolam susu dan madu itu telah berubah menjadi… danau darah! Oh oh oh! Danau darah! Danau darah! Bau anyir dan busuk pun serta-merta menyambar penciuman saya.

Sontak saya menutup hidung dengan tangan kanan. Seketika suara erangan dan lengkingan pilu orang-orang sekarat mengiang-iang di telinga saya. Benar-benar kenyataan gila!

Jangan-jangan ada yang tidak beres antara mata, hidung, telinga dan otak saya. Jangan-jangan gara-gara saya terlalu lelah di perjalanan. Oh ya? Bisa jadi memang demikian.

Saya kucek-kucekkan mata agar daya lihatnya bisa normal seperti sedia kala, meski suara orang-orang sekarat tidak berhenti menggema dan mengiang. Juga saya pukul-pukulkan kepala saya supaya syaraf, posisi dan kegiatan otak saya berada pada kesadaran normal. Kemudian saya perhatikan lagi foto-foto tadi. Tapi tetap saja warnanya tidak berubah. Merah semerah darah. Mayat-mayat pun masih kelihatan mengambang. Juga suara-suara sengsara, bergema.

Satu lagi yang kemudian membuat saya sangat terperanjat, yakni darah benar-benar membasahi sebagian koran di pegangan saya. Lubang-lubang telah menjadi sumber mata air darah. Muncullah beberapa aliran yang langsung meluncur dari bidang koran menuju lantai berubin keramik cerah. Tes. Tes. Tes. Tes. Astaga!

Spontan saya sentakkan koran itu ke lantai. Plak! Halaman muka tetap tampil. Foto-foto lubang tambang terpampang lagi. Darah keluar semakin gencar. Lantai di sekitar koran itu berangsur digenangi darah. Terus, terus, terus. Ada pula aliran yang menuju tempat saya berdiri. Saya terpaku. Entah ke mana pikiran saya. Di sekitar saya, pandangan para penumpang, penjemput, kuli angkut, penjaja koran, sopir taksi plat hitam, beberapa karyawan dan satpam menyatu pada saya dengan sikap tubuh mematung. Mereka melongo.

Sewaktu ada aliran yang mencoba menyentuh sepatu butut saya, langsung saya melompat dan bergegas menjauhi tempat itu. Saya tidak peduli lagi pada barang bawaan saya yang belum juga kelihatan di tempat peletakan barang penumpang. Kayaknya arah orang-orang terpecah, antara ke diri saya dan ke koran yang nyaris mengapung di lantai.

Seorang ibu berusaha mencegat saya seraya bertanya, “Ada apa, Dik?” Saya jawab, “Ada yang gawat, tidak beres, betul-betul sinting di koran itu!” Dia menanyakan, sinting kenapa. Darah, Bik! Darah! Darah! “Darah apa? Di mana?” Coba lihat di sana, Bik! Lihat! Lihat! Lihat baju orang-orang yang membawa koran! Berlumuran darah! Darah di tempat saya tadi sudah menggapai alas kaki orang-orang di sana. Sebagian darah terus mengalir seolah mengejar saya.

Dia menoleh ke arah telunjuk saya, lalu kembali menatap saya dengan kening berkerut. Saya tidak peduli. Saya tidak mau berlama-lama berada dalam situasi begini. Saya segera bilang permisi. Kemudian menuju pintu keluar.

Ah, semoga di luar nanti adik saya sudah siap, segera membawa saya pulang. Namun gema orang sekarat dan lolongan luka terus menempel di telinga saya.

Begitu tiba di ambang pintu keluar, langkah saya terhenti. Halaman luar hingga jalan-jalan telah dibanjiri darah, bahkan semacam lautan darah. Orang-orang, kendaraan dan segala yang tidak tinggi terendam di sana. Darah bergerak-gerak mencapai bibir teras. Serta-merta bebauan menjijikkan menusuk paru-paru saya. Gema senandung sekarat dan lolongan luka terdengar jelas sekali.

***

Pangkalpinang-Sungailiat, 2005-2006

Tidak ada komentar: