Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Selasa, 24 September 2013

RAMBO



(dimuat di Harian SUARA MERDEKA, Minggu, 22 September 2013)



Ketika saya baru menguak gerbang pagar depan, baru selebar satu meteran, anjing kami langsung menyelonong. Di jalan baru satu-dua motor yang melintas di jalan aspal, dan di langit matahari masih malas berbagi terang dan hangatnya. Sementara motor istri saya sedang dipanasi mesinnya di teras samping.

Begitu sampai di luar, ia menggonggong lantas mengejar sebuah motor yang lewat. Serta-merta saya membentaknya, “Rambo!” Saya khawatir kalau Rambo menggigit kaki si pengendara atau orang yang diboncengnya.

Rambo berbelok ke arah gerbang lagi dengan buntut yang ditekuk menutupi pantatnya. Ia mendekati saya dengan muka tertunduk, sebentar menggeleng, dan buntutnya kipas-kapis. Segera saya menyuruhnya kembali ke teras.

*

Rambo adalah nama pemberian mertua saya untuk anjing kami itu. Anjing jantan, kekar, berbulu coklat merata, matanya jingga apabila tersorot cahaya pada malam hari, dan dari jenis anjing kampung. Ia anjing terakhir yang kami miliki setelah induknya mati tua, dan lima saudara kembarannya diambil oleh kawan-kawan istri saya.

Saya, apalagi istri saya, tidak mau memelihara anjing betina lagi karena, dari pengalaman adanya induk si Rambo, musim kawin anjing merupakan bencana bagi bunga-bunga kami. Sudah suara mereka yang cukup gaduh, ditambah dengan ulah serudak-seruduk semasa berebut mengawini induknya Rambo.

Pada musim kawin itu pot-pot kami berantakan. Anjing-anjing datang. Anjing dari keluarga toko Ajin, toko Alun, toko Bong Acit, Anemer Atung, Achiang si pengusaha tahu, dan lain-lain. Anjing-anjing itu menerobos sela-sela pagar tanaman (daun mangkok-mangkok, kenikir, teh-tehan, bambu jepang, dan lain-lain). Anjing-anjing jantan itu berebutan seolah anjing kami adalah anjing tercantik di dunia.

Selama beberapa hari, terutama pagi hari, selalu saja saya harus membereskan pot-pot yang bergelimpangan dan isinya tumpah-ruah. Tak ayal istri saya akan mengomel habis-habisan. Pasalnya, bunga-bunga itu bukan sekadar menjadi penghias halaman, melainkan juga kami bisniskan. Sebagian kami jual, dan sebagian lagi kami sewakan.

Kini tinggal Rambo. Tapi, ketika berusia enam bulan dalam ukuran waktu manusia, Rambo memulai kebiasaannya. Mengejar motor lewat di jalan depan rumah pada saat di antara kami akan pergi naik motor. Ia akan mendahului berada ke jalan, menggonggong sekaligus mengusir kendaraan yang lewat seolah membuka jalan bagi kami dan tidak boleh ada motor lain di jalan depan rumah kami, baik dari jantung kota Sungailiat menuju Pemali, Pohin lantas ke Mentok, Bangka Barat maupun dari arah sebaliknya.

Meskipun belum pernah terlibat kawin massal, keberadaan Rambo yang sudah lebih satu tahun di rumah kami, gelagatnya cukup mencemaskan, khususnya menurut istri saya. Pasalnya, Rambo telah membuat orang-orang enggan datang, baik hendak membeli baju atau kain maupun membeli atau menyewa bunga kami.

Karena itulah istri saya terpaksa berjualan keliling dengan sistem kredit, sekalian bisa bergosip dengan kawan-kawannya. Sedangkan saya bertugas di rumah. Melayani calon pembeli produk usaha kami. Di samping itu kami menambahi usaha pengadaan es batu, yang kebetulan bisa melayani dua-tiga warung di seberang jalan depan rumah kami.

*

Kampung tinggal kami, Sri Pemandang Pucuk, bukanlah kampung yang aman dari santronan maling, terlebih anjloknya harga timah sejak beberapa tahun terakhir. Nyaris seluruh rumah sudah pernah dijamah maling.

Apakah tidak ada orang yang ronda atau bersiskamling? Sama sekali tidak ada. Gardu rondanya, apalagi. Informasi seputar ronda dan siskamling hanya kami lihat di televisi, dan seringnya berita dari Jawa.

Mayoritas orang kampung kami adalah muslim, dan, tentu saja, tidak memelihara anjing. Najis, kata mereka. Demi rasa aman, jendela dan pintu rumah-rumah tetangga, termasuk rumah kami, dilengkapi dengan teralis dan pintu teralis.

Kendatipun begitu sekaligus memelihara anjing, saya pun sempat memelihara sepasang angsa dan pernah satu kali bertelor. Masalahnya, angsa suka menyantap daun-daun tanaman kami, termasuk bunga-bunga. Pernah saya buatkan kandang untuk bunga-bunga kami tetapi halaman depan rumah justru tampak kumuh. Lain itu, suara ributnya ketika diajak bermain anjing kami. Telor angsa pun tidak bertahan lama karena digasak biawak.  

*

Pada suatu siang matahari begitu beringas memanasi kampung. Jaenab, salah seorang pemilik warung makanan ringan di depan seberang rumah, datang untuk membeli es batu.

Ketika berada di muka gerbang, dia berteriak-teriak memanggil saya yang kebetulan sedang membuang air kecil. Justru di teras Rambo-lah yang menyambutnya dengan gonggongan yang nyalang. Saya percepat prosesi alamiah itu dan segera menuju gerbang. Tak lupa pula saya perintahkan Rambo diam di tempat.

Biasanya Jaenab cukup mengirim pesan singkat via ponsel dan saya sendiri yang mengantarkan es batu pesanannya. Kali ini malah datang sendiri, membeli es batu sebanyak empat bungkus. “Kehabisan pulsa, Bang Oji,” jawab Jaenab dari depan gerbang.

Saya langsung berbalik ke dalam, disusul oleh Rambo, dan mengambil empat bungkus es batu. Setelah itu saya antarkan ke Jaenab yang sedang menunggu di sana. Lagi-lagi Rambo mengikuti saya.

Jarak antara saya dan Jaenab tinggal dua meter saja, tiba-tiba Rambo menyelonong dan, hap! Kaki kanan Jaenab, yang kebetulan bercelana panjang tanggung alias sekitar lima sentimeter di bawah lutut, digigitnya. Kejadiannya tepat di depan mata saya. Seketika Jaenab berteriak-teriak kesakitan, saya terkejut sekaligus membentak Rambo.

*

Azan Asar sudah lewat setengah jam lalu. Setelah menghubungi saya supaya Rambo tidak seenaknya mengolah moncong, tiga orang kampung datang. Pak RT Samsuddin, dan dua pemuda yang bernama Fikri dan Manaf.

Kedatangan ketiga tetangga ini, tentu saja, dalam rangka penyelesaian masalah fatal dilakukan oleh Rambo, dan dialami oleh Jaenab tadi siang. Memang, tadi siang saya segera membawa Jaenab ke rumah sakit agar tidak terjadi hal-hal yang lebih parah lagi. Saya juga sempat meminta maaf kepada keluarga Jaenab, dan memberi uang untuk biaya berobat lagi.

Namun, masalah tidak cukup selesai sampai di situ. Rambo ternyata sudah sering meresahkan orang-orang kampung kami. Beberapa hal yang luput dari pengetahuan saya, Rambo pernah hendak menggigit anak tetangga yang sedang mengejar layang-layang putus di belakang rumah kami.

Rambo juga pernah menyebabkan kecelakaan di depan rumah saya lantaran seorang pengendara tidak mampu mengendalikan motornya karena panik dikejar Rambo, dan lain-lainnya, termasuk Rambo kencing sembarangan di rerumputan pinggir jalan, dan itu sangat najis.

Kedatangan tiga tetangga kami ini dimanfaatkan pula oleh istri saya, yang mengusulkan supaya Rambo dipensiunkan dini saja gara-gara tingkah-lakunya yang sudah terbilang “siaga 1”. Ditimpali lagi oleh Manaf, “Nah, istrimu saja sudah tidak kuat menerima ulah Rambo, Ji.”

Saya malah berpikir, kalau Rambo tidak ada, bagaimana dengan keamanan di rumah kami. Apabila terjadi kemalingan, siapa yang wajib dipersalahkan dan bertanggung jawab. Padahal selama ini, ketika rumah kami kosong karena banyaknya acara di luar, semisal saya ikut terlibat dalam pameran bunga di Taman Hiburan Rakyat Batin Tikal, hanya Rambo yang bisa diandalkan untuk mengamankan rumah dan bunga-bunga kami.

*

Saya sudah tidak asing melihat seekor anjing tergeletak tanpa detak jantung. Seekor anak anjing kami pernah begitu, tanpa jejak kekerasan dan darah, di dekat pagar rumah. Ada juga anjing kami yang ditabrak orang, alias korban tabrak-lari. Ada lagi yang dikerjain, dengan bekas lilitan kawat di sekujur kaki. Belum lagi batu-batu sekepalan tangan berserakan di teras pada beberapa pagi, hasil ‘kerajinan’ tangan beberapa remaja ketika malam.

Pagi ini anjing terakhir kami akan dieksekusi. Ia akan dipaksa menemui ajalnya. Tadi pagi, sebelum berangkat keliling kampung lain, istri saya menghubungi dua sepupunya, Udik dan Tonyol, yang suka berpesta daging anjing bersama kawan-kawannya, serta yang dari Kampung Jawa.

Saya tidak sanggup membayangkan apalagi melihatnya ketika kedua sepupu datang, dan merayu-rayu anjing kami untuk masuk ke jebakan berupa tali tambang sebesar kelingking. Begitu keduanya datang, saya langsung keluar rumah hingga keduanya mengabari bahwa proses eksekusi sudah sukses dilaksanakan dan kunci rumah diselipkan di salah satu pot.

*

Udara beraroma basah dalam remang lepas subuh. Beberapa kali terdengar suara lantang ayam jantan sembari menepuk angin di cabang pohon belimbing di kandang belakang rumah kami.

Saya terbangun, dan berniat membuat secangkir kopi bangka sebelum matahari pagi menghisap seluruh embun di dedaunan bunga. Pada saat itu saya merasa suasana yang sangat lengang. Saya seperti kehilangan salah satu anggota keluarga.

Biasanya, sedikit mendengar suara pintu terbuka dari arah dalam, Rambo langsung menggaruk-garuk pintu samping sembari menggonggong lirih. Biasalah, minta camilan sebagai bonus atas pekerjaannya.

Sruk! Sruk! Sruk! Suara garukan khasnya tiba-tiba kembali mengusik telinga saya. Seketika bulu kuduk saya berdiri.

*******
Balikpapan, Juli 2013

Minggu, 07 Juli 2013

JIN JENGKOL



(dimuat di Harian Sore SINAR HARAPAN, Sabtu, 29 Juni 2013)

Sambil menyantap sarapan nasi kuning plus telur dadar, saya berpesan kepada pemilik warung dekat tempat kerja saya, “Nanti siang semur jengkolnya disisakan kayak biasa, ya, Pak?”

“Tidak ada, Bang. Gara-gara harga BBM naik dan langka.”

Seketika terasa nasi berubah kerikil dan telur dadar berubah lempengan plat baja. Apa-apaan ini, pikir saya. Harga BBM naik dan mulai langka, jengkol malah langka terlebih dulu dari peredaran?  Ini sudah tidak keterlaluan! Sudah tidak nasionalis! Tidak NKRI-is!

“Subuh-subuh saya sudah keliling seluruh pasar, Bang. Rencananya sekalian biar bisa antri BBM pagi-pagi. Belanja bahan, beres. Soal BBM juga beres pagi-pagi. Tapi…”

“Terus?” celetuk seorang pria di belakang saya. Pria brewok yang tadi saya lihat dan hanya memesan kopi.

“Saya tidak tahu, Mas. Bisa jadi besok, lusa, minggu depan, dan entahlah… Jengkol belum ada kabar. Ini gara-gara harga BBM naik, Mas.”

*

Berita pagi tadi terasa paling tidak nikmat dalam seluruh acara sarapan apalagi sejarah kuliner saya selama ini. Juga mengusik konsentrasi kerja saya. Nanti, makan siang, lauknya apa karena jengkol tidak ada?  Cuma tempe? Kasihan banget, tempe tidak ada temannya.

Beginilah resiko di perantauan, di kota yang lumayan besar. Tidak seperti di kampung sendiri. Jengkol, atau jering dalam bahasa kampung saya, tidak sulit didapat. Di belakang rumah orangtua saya ada satu pohonnya, milik tetangga. Subur sekali.

Jering itu selalu tampil beda dan menggoda. Kulit buahnya keungu-unguan di antara segala hijau yang mendominasi. Ya, saya ingat, di sekitar pohon jering itu, ada pohon cempedak, rambai, rukem, jambu bandar, belinju, nangka, dan entah apa lagi.

Kebun itu seperti dipayungi. Rindang sekali. Tempat saya dan kawan-kawan sebaya SD saya bermain pada siang hari, sepulang sekolah. Koboi-indian, perang-perangan, gom kaleng, kejar-kejaran, balap-balapan, kelereng. Pohon-pohon itu pun kami panjati. Main rumah-rumah pohon, pesawat ruang angkasa, perang-perangan, bernyanyi dangdut, dan lain-lain.

Tapi pohon jering pernah menjadi cerita kami. Kata orang-orang tua di kampung kami, pohon itu ada penunggunya. Jin jering, namanya. Jin itu muncul menjelang magrib. Siang hari, mana ada jin? Kami tidak mengerti karena kami tidak pernah bermain di sekitar situ sampai kira-kira jam lima sore.

Waktu itu ada sarang tabun guci. Besarnya separuh guci atau galon air mineral. Warna sarangnya coklat tanah. Dengan betet alias ketapel, kami iseng-iseng menembakinya setelah gagal mencari burung liar. Lima kerikil melesat. Bus! Tembuslah dinding sarang tabun guci. Disusul lima berikutnya. Bertubi-tubi.

Tabun-tabun keluar. Warnanya hitam bersabuk kuning. Sebagian memeriksa dinding yang rusak. Sebagiannya lagi beterbangan di sekitar pohon jering, mencari musuh yang merusak rumahnya alias kami. Sontak kami berlarian ke segala arah demi menyelamatkan kepala dari sengatan di pantatnya.

Dalam pelarian kami ketemu tetangga, pemilik kebun. Tangannya melayang, nyaris terkena kepala kami. Kami tidak takut. Beberapa waktu kemudian kami mengendap-endap ke sana lagi. Menembaki sarangnya lagi, dan lari berhamburan lagi.

Beberapa hari kemudian hancurlah sarang tabun. Dari bawah kami melihat, sarang itu kosong. Tetangga kami, pemilik kebun itu, pun datang membawa satang berupa kayu sepanjang sepuluh meter yang disambung-sambung, dan ujungnya diselipkan pisau berposisi tegak-lurus. Dia menuju pohon jering. Tetangga kami pasti mau memetik buah jering.

“Katanya, jering itu ada penunggunya, Wak?”

“Iya, Uwak, jin jering. Nanti kalau marah, kami yang kena bala.”

“Tenang, jin jering sudah uwak taklukkan.”

Kami saling memandang sambil terkagum-kagum. Sakti juga tetangga kami ini. Kami ikuti saja ke pohon jering. Ya, kami mau membantunya. Mengarahkan, memungut, dan mengumpulkan di satu tempat. Begitu sudah banyak, masing-masing kami diberi beberapa buah dan kami jadikan baju kami sebagai tempatnya untuk kami bawa pulang.

Sampai di rumah, saya malah dimarahi emak. Getah-getahnya menodai baju, dan tidak bisa dihilangkan. Tapi, jering melumerkan kemarahan emak. “Rendam dulu, besok baru dimasak,” kata emak. Segera saya letakkan di ember bekas sabun colek.

Besoknya, jam satu siang sepulang sekolah, saya sudah menikmati lempah jering. Nasi hangat dan lempah jering. Betapa sedapnya! Alangkah lahapnya saya. Lantas, bermain lagi dengan kawan-kawan di kebun itu, di dekat pohon jering. Tidak peduli cerita orang-orang tentang jin jering.

*

Semur jengkol hangat, aromanya masyuk, dagingnya empuk, hmmm… Wajah emak selalu senang melihat kelahapan saya menyantap semur jengkol sebab saya tidak pernah merengek minta rendang, ikan panggang, atau sate ayam. Tiada satu daging teramat nikmat selain jengkol yang disemur, dan dilumat bersama nasi hangat.     

“Bang, ngelamun aja nih sampai dekat jam makan siang?”

“Oh. Sorry.” Saya kaget atas teguran rekan kerja saya dari arah belakang.

“Masalah nunggak kos-kosan, jangan dibawa-bawa ke kantor dong, Pak Oji!” tambah rekan saya yang perempuan. “Nanti kena SP 2, dikira kami yang ngadu ke bos.”

“Sorry. Sekali lagi, sorry.”

Benar-benar sorry. Rekan-rekan komplain. Pekerjaan sedang sibuk. Dokumen-dokumen harus disiapkan. Besok, sebelum makan siang, harus sudah masuk. Terlambat lima menit, sudah pasti gugur. Bagian saya adalah memeriksa redaksionalnya. Jangan ada kalimat yang keliru. Jangan ada hal penting yang ketinggalan. Mana semua berbahasa asing.

Kalau tidak selesai sampai sore, alamat mereka bakal lembur hingga larut malam. Tugas saya bisa saja selesai selepas magrib. Tetapi tidak begitu dengan rekan-rekan lainnya. Mereka harus mencetak, menyusun, menjilid, dan mengemasnya sebelum dimasukkan ke sebuah bank yang ditunjuk sebagai tempat pendaftaran dan pengumpulan dokumen tender.

Tidak terasa malah sudah… Menjelang jam makan siang? Nanti, makan siang, lauknya apa karena jengkol tidak ada?  Cuma tempe? Kasihan banget, tempe tidak ada temannya.

*

Selama satu hari ini, saya bekerja kurang fokus. Jam makan siang juga tidak saya manfaatkan untuk makan. Saya hanya berinternet, ngobrol dengan entah siapa saja. Selera makan siang saya lenyap gara-gara jengkol yang sedang ‘sembunyi’. Sangat menjengkelkan.

Selepas magrib saya pulang. Biasa, naik angkot. Ongkosnya sudah naik gara-gara harga BBM naik. Harga BBM naik, sama sekali tidak ada kabar apakah gaji saya bakal naik, atau tunjangan transportasi juga naik.

Ah, mana mungkin naik. Nilai tender tidak naik. Tadi saya lihat, tidak ada harga yang dinaikkan agar menang tender. Malah selalu diturunkan. Tender selalu begitu. Yang bernilai rendah justru jadi pemenang tender. Maka, pastilah nilai tidak naik bahkan turun, tapi ongkos lainnya naik. Perusahaan pasti nombok karena, kalau menang tender pun, pasti akan berpengaruh pada nilai tender. Belum lagi “setoran” untuk beberapa panitia tender, termasuk orang-orang kuncinya, yang malah minta “setoran komitmen” naik dari 20% menjadi 30%.

Ah, bukan urusan saya. Urusan saya adalah perut yang mulai menuntut gara-gara tidak makan siang. Ya, urusan kampung tengah ini bisa lebih mengganggu daripada memikirkan urusan “setoran komitmen”. Saya harus menenangkannya sebelum sampai kos lantas tidur.

Di warteg dekat kos saya menunaikan “setoran komitmen” dengan diri saya sendiri. Saya berharap ada semur jengkol. Tetapi harapan tinggal harapan, Harahap pun entah di mana kini.

“Tidak ada, Bang. Satu hari ini aku sudah keliling semua pasar.” Jawaban pemilik warteg mirip dengan pemilik warung dekat tempat kerja saya. “Pasti ada yang menimbun jengkol.”

“Menimbun jengkol, Pak?”

“Iya. Aku dengar sih gitu. Gawatnya lagi, Bang Oji, kini ada jin jengkol.”

“Jin jengkol? Apa lagi ini?” Diam-diam, sekilas, saya kembali teringat pada jin jering.

“Bang Oji, biar kata orang aku ini kampungan, soal jengkol aku sudah baca di koran.”

“Ada apa dengan jengkol dan koran, Pak? Apa jengkol jadi korban kekerasan dan kasusnya masuk koran?”

“Ya bukanlah, Bang. Tapi harga jengkol bakal naik lima kali lipat. Juga kini juragan jengkol tidak mau lagi jual di pasar-pasar kita. Sekalian deh mereka jual ke luar negeri. Kalau dijual ke kita langsung, tidak menguntungkan. Jin jengkol memborong dan menimbun jengkol.”

Selepas makan malam di warteg itu saya berjalan dengan gontai menuju kos. Hidup terasa semakin berat saja. Gara-gara BBM, jengkol menjadi korban. Mudah-mudahan, kalau kapan-kapan saya mudik, pohon jengkol tetangga masih tegar menghadapi godaan ekspor.

“Berhenti dulu!” cegat seseorang di keremangan. Langsung saya menoleh ke arahnya. Oh! Si brewok yang di warung dekat kantor tadi pagi. “Tidak usah mencari jengkol! Cari makanan lain! Jangan coba-coba demo soal jengkol kalau Anda masih doyan hidup!”

Saya tidak sempat menanggapi, si brewok sudah langsung pergi sambil memperlihatkan gagang pistol di pinggang. Jangan-jangan jin jering sudah pindah ke kota?

Belum selesai berpikir, ponsel saya bernyanyi lagu dangdut. Oh, dari rekan kerja saya.

“Halo?”

“Bang Oji, disuruh kembali ke kantor. Kata bos, banyak kalimat yang keliru!”  

*******
Balikpapan, Juni 2013