Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat

Gus Noy dan Sebuah Tambang Rakyat
foto ini diambil pada 02 Januari 2013 di tempat penambangan milik saudara angkat Gus Noy di Pemali, Sungailiat, Bangka.

Sabtu, 21 Januari 2012

Arnold

(dimuat di Harian SINAR HARAPAN, Sabtu, 21 Januari 2012)

Matahari mulai menghangati dinding ruang tamu Oji yang kedatangan tamu, seorang pria paruh baya.

“Bos tahu sendirilah, aku selalu ingin membantu...“

“Tapi kali ini aku serius sekali wo, Pak Oji. Jauh-jauh aku datang….”

Air muka pria yang disebut “bos” oleh Oji itu memelas. Oji terdiam. Keheningan langsung mencengkram ruang tamu rumah Oji. Ia belum menemukan kata-kata untuk memenuhi permintaan tamunya. Ia tidak berani menjanjikan atau menjamin apa-apa karena persaingan kian ketat dan sengit. Ia memahami keadaan tamunya. Beberapa minggu sebelumnya Oji bertemu pria itu di sebuah klinik praktek dokter umum yang terletak di pusat kota kabupaten, atau puluhan kilometer dari kampungnya. Kebetulan Oji hendak memeriksakan kesehatan anaknya yang tiba-tiba sakit dengan suhu badan tinggi. Oji sempat khawatir anaknya terkena flu burung. Di sana Oji bertemu pria itu didampingi istrinya. Air muka pria itu tampak suram. “Papi tidak seperti waktu-waktu sebelumnya, yang selalu tersenyum lebar. Sedang depresi berat, Pak,” kata istri pria itu.

Dari istri pria itu Oji mengetahui persoalannya. Bisnis bangunannya sedang dililit hutang gara-gara konsultan tidak becus membuat RAB untuk proyek-proyek pemda. Ratusan juta duitnya tertahan di beberapa proyek walet yang sedang dilanda persoalan ijin mendirikan bangunan, sampai-sampai pria bermata sipit itu tidak bisa menyediakan bahan bangunan dan membayar gaji kuli-kulinya. Bahkan nyaris satu minggu pria itu mengungsi ke rumah seorang kepala polisi agar dirinya tidak diamuk anak buah dan preman-preman suruhan pemilik bahan bangunan. Seorang sinsang1) menyarankannya melakukan ini-itu untuk menentramkan perasaan dan pikirannya. Oji pernah ke rumah pria itu untuk mengantar keponakannya yang ingin menjadi kuli pada pria itu. Di sana ia memergoki secarik kertas bertuliskan huruf Arab tertempel di atas pintu bagian dalam. Kata pria itu, pak kiai bilang kertas itu untuk menjaga rumah dari pencuri atau orang-orang yang hendak berbuat jahat.

Selama lebih tiga puluh tahun, terhitung sejak menjadi kuli bangunan, pria itu menggeluti proyek bangunan, mulai dari rumah orang, perumahan karyawan PT Timah, masjid, gereja, balai pertemuan milik perusahaan minyak kelapa sawit, kios-kios, ruko, hotel-hotel walet sampai bangunan milik pemerintah daerah. Kini pria itu termasuk pemborong yang sering mendapat proyek-proyek pemda dan perusahaan timah berskala nasional. Ketika penambangan rakyat marak di tahun 2000, pria itu tidak tertarik untuk ikut membuka tambang, ataupun kini menjamur smelter2). Tidak ada urat tambang, alasan pria itu. Tetapi sekarang, saat matahari mulai hangat, Oji tidak bisa berbuat banyak untuk membantu sebab Oji bukan mitra bisnis pria itu. Keseharian Oji hanya berkumpul dengan ayam-ayamnya semenjak ia mengalami kecelakaan sewaktu masih bekerja sebagai kuli tambang rakyat itu. Kaki kirinya pun diamputasi.

“Kalau kelak Arnold menang,” ujar pria itu memecah kebekuan suasana, “hutang-hutangku bisa lunas. Pak Oji tahu ‘kan siapa lawan-lawan kita?”

“Ya. Tapi, Bos…”

“Nah itulah!” Pria itu menunjuk ke Oji dengan tangan kanannya yang di kedua jemarinya terapit sebatang rokok kretek. Kemudian ia menyedot hingga bagian dalam pipinya seolah ikut tersedot, matanya terlihat seperti garis melengkung. Dua-tiga percikan api meloncat dari bara di ujung rokoknya. Tak sampai lima detik, ia menghela asapnya secara perlahan.

“Tapinya gampang, Pak Oji.” Ia merogoh saku celana. Dikeluarkannya beberapa uang kertas pecahan seratus ribu, kemudian diletakkannya di atas meja. “Gampanglah. Ini sekedar uang doping untuk Arnold. Kalau menang, bereslah persennya.”

“Bukan soal dop…”

“Soal lainnya? Kelak kubantulah. Kita kenal bukan baru satu hari wo.”

“Kalau begitu, terima kasih, Bos. Mudah-mudahan Arnold bisa paham.”

“Ha ha ha… Bapak berilah pengertian pada Arnold.” Air muka pria itu telah berubah drastis seperti warna cahaya matahari yang terpantul-pantul di dinding ruang tamu.

“Ha ha ha…”

“Sebentar, Pak,” kata pria itu sembari merogoh saku bajunya, menarik HP, dan memijat angka-angka. Sebentar saja. “Halo, Pak? Saya jadi ikut. Dua? O, berani, berani. Lima pun aku siap! He he he he… Aturannya biasa, kan, Pak? Coba tanyakan ke bandarnya.”

Oji mengambil uang tersebut lalu dimasukkannya ke saku celana. Sempat terjadi pertentangan di batinnya; antara mengambil ataukah menolak. Kalau uang itu tidak segera diambilnya, Oji merasa tidak enak jika tiba-tiba seorang tetangga atau anaknya datang dan melihat jumlah uang tersebut. Masak seorang bos hanya mampu memberi segitu? Masak seorang bos tidak berani bertaruh dengan jumlah besar? Padahal orang mana tahu kalau uang tersebut bukan untuk bertaruh, melainkan semacam uang tanda jadi sebuah kerja sama. Atau kalau diambilnya, beban persiapannya semakin besar. Bagaimana kalau besok Arnold sakit, apalagi bayang-bayang flu burung masih bergentayangan dalam pembicaraan orang kampungnya.

“Okelah. Kelak malam aku hubungi Bapak lagi.” Pria itu menyudahi pembicaraan selulernya. “Itu lawanku, Pak. Pemain baru di daerah kita. Dia biasa main di Jawa dan Bali.”

“Mari kita lihat kondisi Arnold dulu, Bos,” tawar Oji seraya bangkit.

“Hari sudah siang, Pak. Aku harus kembali ke proyek. Anak buahku harus kuberi duit makan. Ini pun tadi singgah sebentar. Pulang dari bank, aku jadi ingat Pak Oji. Bayangkan saja, seratus kilometer aku datang, cuma mau minta tolong Bapak. Bapak ‘kan ahlinya.”

“Baiklah. Tunggu hari Minggu kelak, Bos. Yah, masih tiga hari lagi. Tapi satu hari sebelum Arnold bertarung, Bos harus ke sini lagi untuk memeriksa kondisi jagoan kita.”

***

Oji masih melamun di teras sepulang tamu paginya. Matanya seolah terbang bersama khayalannya, nanti kalau Arnold menang, akan diterimanya uang dari tamunya tadi. Sementara bebek-bebek Oji telah berkelana ke parit kecil di belakang rumahnya, meski di sana air terkadang keruh sejak tiga tahun ini. Sebelumnya sepanjang parit berpagar pepohonan rumbia itu dipakai untuk tempat mandi dan mencuci warga kampung. Jika malam, sering tempat mancing anak-anak kampung. Ada ikan gabus, baung, kelik, belido, betok, tepatung, dan lain-lain.

Kini sudah jarang sejak parit itu sering menerima hibahan air sewarna susu kopi dari aliran tambang-tambang rakyat atau dikenal sebagai tambang inkonvensional. Lahan-lahan yang dulunya dirimbuni tumbuhan liar serta pepohonan besar-menjulang, telah berganti menjadi galian dan timbunan tanah karena dibuka untuk tambang itu. Jaraknya sekitar seratus hingga beberapa ratus meter dari rumah Oji. Dari tepi jalan di depan rumahnya, bukit tanah itu tidak kelihatan karena tertutup rumah dan pepohonan. Alat-alat berat, semisal PC, pun sudah menjadi tontonan biasa bagi penduduk di daerah itu. Sedangkan jenis burung liar, misalnya puyuh, ketutu, punai, pergem, telagup, ayam-ayam, dan lain-lain tidak terlihat lagi.

Di pinggir parit terdapat tanaman liar; sejenis ilalang air, sangat subur. Juga beberapa ekor ayam kampung mencari makanan sajian alam, juga kadang minum. Sementara ayam-ayam bangkok, ayam kesayangan Oji, tetap di dalam kandang masing-masing. Jumlahnya tidak sampai dua puluh ekor dengan jumlah jantan lebih banyak. Sesekali muncul anak biawak.

Mendadak permukaan air bergolak. Tanaman liar bergoyang-goyang. Unggas-unggas itu berhamburan meninggalkan tepian parit dengan suara ribut. Lambat laun air kembali tenang.

***

Dendang kodok dan jangkrik menghanyutkan malam yang sempat disiram gerimis meski masih dalam bulan-bulan kemarau. Istri Oji telah bertamasya ke alam mimpi sejak beberapa jam lampau dengan memeluk guling kempes. Punggungnya yang berkerubut sarung berwarna pudar, mengarah ke Oji. Sementara mata Oji belum mau terpejam. Pikirannya terus berjalan ke mana-mana. Ia berencana, besok ia akan ke kelurahan, mengurus perpanjangan KTP-nya. Juga mengurus kartu C-1 untuk diperbarui. Tapi ia harus segera pulang sebab para petaruh pasti akan berkunjung ke rumahnya untuk melihat kondisi Arnold, lantas memasang taruhan.

“Keok!” Suara ayam mengagetkan Oji. Segera senyap. Sialan, kalau bukan biawak, pasti musang, umpatnya. Kalau pencuri, suara riuh ayam akan terdengar panjang.

Oji tidak beranjak. Biawak atau musang bukan masalah baru. Dulu ketika tanah-tanah di sekitar rumahnya masih hijau gondrong, binatang-binatang pemangsa unggas itu sering berkeliaran di kandang orang-orang kampungnya. Kalau berhasil ditangkap, mereka akan menjualnya kepada orang Cina. Entah untuk lauk, entah pula jeroannya untuk obat. Tapi ia tidak khawatir pada ayam jagoannya. Ayam yang berhasil dimangsa biasanya ayam yang suka tidur sembarangan, bandel, dan tidak mau masuk kandang ketika senja merekah di ujung kampung. Dalam satu minggu ini saja sudah lebih enam ayam dan dua anjing tetangganya raib tanpa jejak.

“Mmmmm… belum tidur, Pak?” tiba-tiba suara istrinya memenggal laju lamunannya.

“Ya. Susah ngantuk,” sahut Oji berat. “Besok, usai mengantar dagangan ke warung-warung dan mengantar Bedul ke sekolah, sekalian pulangnya Ibu beli makanan ayam, ya. Jangan lupa makanan khusus untuk Arnold. Suplemennya juga.”

Hening kembali. Pasti pikiran istrinya telah segera terbang lagi entah ke mana. Pikiran Oji berkelana lagi. Kali ini tertuju pada Arnold. Lusa Arnold akan berlaga. Lebih dari belasan pertarungan telah dilakoni Arnold. Hasilnya senantiasa memuaskan. Hadiah kemenangannya ditambah bonus atau ungkapan terima kasih para petaruh telah terbangun menjadi rumah dan beberapa perabot, termasuk seperangkat barang elektronik dan sebuah genset. Tapi lusa nanti Arnold akan dijajal musuh-musuh baru. Kata orang-orang, ayam aduan asli dari Ponorogo. Oji mengerti ketangguhan ayam-ayam aduan dari sana karena paman besannya berasal dari Ponorogo, dulu terkenal sebagai pemilik ayam jagoan. Arnold adalah keturunan ayam pamannya.

***

“Bagaimana kabar ahli ayam jagoan kita ini?”

“Waduh, Bos ada-ada saja.”

Keduanya berjabatan sembari berbalas senyum. Oji melihat ada semangat hidup yang terpancar dari mimik wajah dan gerakan tubuh tamunya.

“Bos mau duduk santai sambil ngopi mumpung hari masih pagi, atau langsung ke kandang, melihat-lihat kondisi Arnold untuk berlaga kelak sore?”

“Terserah tuan rumahlah.”

“Hehehe… masalahnya bukan terserah, Bos. Istriku keluar rumah sejak fajar, belum pulang. Biasa, tiap tiga hari sekali dia ke pelabuhan nelayan, beli ikan untuk bikin empek-empek, kemplang3) dan sambel lingkung4). Anakku juga sudah berangkat ke sekolah, sendirian. Aku sendiri yang akan membuat kopinya. Kita bebas sebentar, Bos!”

“Wah, jadi bujangan lagi ya, Pak. Tapi mending kita menjenguk Arnold dulu, Pak. Soal ngopi-ngopi, kelak kita ke warung saja. Siapa tahu di warung nanti juga ada yang nantang.”

“Kalau ada, pasti dia pilih jagoanku, Bos. Sudah dikenal. Tapi baiklah. Ayo ke belakang.”

Keduanya melangkah ke belakang rumah, dekat dapur. Di situ ada kandang berukuran 300 m2 dikelilingi kawat-kawat. Beberapa pohon liar dibiarkan tumbuh, di samping singkong, pisang, salak, enau, kelapa, rambai, jambu bol, dan sekerumun alang-alang. Ada kandang khusus berisi calon-calon ayam aduan. Juga kandang semacam ring untuk latihan bertarung.

Baru beberapa meter dekat kandang, beberapa ekor ayam kampung segera menyongsong kedatangan Oji. Namun Oji tidak menggubris sebab tadi pagi istrinya sudah memberi mereka makan. Ia dan tamunya mengarah pada sebuah kandang yang selama ini menjadi rumah bagi Arnold. Alas kandang itu adalah tanah. Sinar matahari masuk sebagian.

Dari jarak beberapa meter Oji melihat kandang Arnold kosong. Lho, ke mana jagoanku, gumam Oji. Tadi pagi ia sengaja belum memberinya makan karena ia ingin stamina Arnold siap, garang, dan lincah menghadapi musuhnya. Bobot harus diperhatikan. Kekenyangan justru melemahkan stamina.

“Rumah Arnold yang mana, Pak?”

“Mmmm.. masih di sana, Bos. Sebentar lagi. Atau Bos tunggu di sini dulu sambil melihat-lihat koleksi andalanku.”

Oji bergegas meninggalkan pria itu. Pikirannya tertuju pada Arnold, jagoan yang siap tarung sore nanti. Dicarinya di sekitar kandang. Diperiksanya setiap sudut kandang. Nihil. Justru ia menemukan sebuah kulit ular di sela-sela tumpukan kayu-kayu lapuk dekat sudut kandang. Bekas ular ganti kulit. Ditariknya kulit ular itu. Betapa terkejutnya Oji ketika panjang kulit itu mencapai lebih tiga meter. Oji merasa dengkulnya lemas seketika.

“Bagaimana, Pak?” tegur pria itu sambil melongok dari ujung kandang.

Oji menaikkan kulit ular itu. Segera tamunya menuju Oji.

“Ular sabak, Pak! Ular piton!”

“Coba kita lihat keadaan rumah Arnold, Bos,” ajak Oji tanpa menatap tamunya. Ia melangkah tergesa-gesa. “Tuh rumahnya. Yang dekat pohon jambu bol, Bos.” Tamunya mengikuti langkah Oji yang sudah mendekati kandang Arnold.

Sesampainya di kandang Arnold, tidak tampak Arnold di dalamnya, kecuali keadaan kandang yang agak tersingkap dengan berhelai-helai bulu Arnold tergeletak di tanah.

“Pak Oji, si Arnold…”

“Maaf, Bos. Maaf, Bos…”

Tanpa berbicara apa-apa lagi, pria paruh baya itu langsung meninggalkan rumahnya. Oji terdiam di depan kandang sambil mengutuk, “Hancur! Hancur! Matilah!”

*******

Sungailiat Bangka, 2006

Keterangan :
1) sinsang = Dukun/paranormal/dokter tradisional Tionghoa
2) smelter = Pabrik Peleburan Timah
3) kemplang = Kerupuk
4) sambel lingkung = abon ikan