(dimuat di Harian SINAR HARAPAN, Sabtu, 07 Maret 2009, dan buku Antologi Cerpen "Ujung Laut Pulau Marwah", TEMU SASTRAWAN INDONESIA III 2010)
Kampung Sri Pemandang Pucuk, suatu malam di minggu pertama Oktober.
Saya menerima telpon dari paman, adik ayah saya. Paman bilang, ia akan datang ke Bangka. Dalam rangka apa? Melebarkan sayap-sayap bisnis? Jawab paman, “Entahlah. Aku lagi sumpek tinggal di Jakarta. Capek juga bolak-balik Jakarta-Pontianak. Lusa aku datang. Sendiri. Bibi dan anak-anak sedang berlibur ke Bangkok.”
Begitulah. Dan sampai pada hari kedatangannya, kami sudah siap. Ada satu kamar tidur untuk paman. Kamar itu dulu memang pernah ia tempati ketika masih menjadi pelajar STM1) jurusan Bangunan di kota kami dua puluh tahun silam. Setamat dari STM paman mengadu nasib di Jakarta, dan hingga kini. Sedangkan kamar itu telah beberapa kali berganti penghuni, termasuk saya. Ayah selalu berpesan, kalau sewaktu-waktu paman datang, kamar itu harus dikosongkan untuk tempat beristirahat paman dan keluarganya. Memang kenyataannya, empat atau enam bulan sekali paman datang, kecuali delapan tahun terakhir. Alhasil, untuk sementara ini saya harus rela tidur di karpet ruang keluarga, dan pakaian-pakaian saya mengungsi ke gudang.
“Lama aku tidak kemari, Bangka banyak perubahan!” komentarnya ketika ia tiba di rumah kami dengan naik taksi berplat hitam.
“Pasalnya, Paman terlalu asik menikmati bisnis di Ibukota.”
Paman cuma tersenyum. Saya paham benar, adik ayah satu ini memang paling ngotot berbisnis sampai-sampai uban-ubannya pun harus disemir hitam berulang kali. Menurut cerita ayah, awal merantau di Jakarta paman hanya seorang karyawan biasa di sebuah toko bahan bangunan. Tapi lantaran sifat kerja keras dan ingin tahunya tinggi, belum dua tahun dia sudah terlibat dalam bisnis kayu, terutama dari Kalimantan, dan termasuk agen kayu terbesar untuk wilayah Jawa. Kalau sesekali beristirahat di Bangka, paman memilih tinggal di hotel dekat pantai. Keluarganya jarang dibawa karena alasan sekolah anak-anak tidak libur, dan kesibukan bibi berbisnis konveksi dan katering. Entah kenapa, kali ini paman mau beristirahat di rumah kami.
***
Oktober ini bukan lagi bulan hujan pertama di kampung Sri Pemandang Pucuk.
Memang, sampai pertengahan bulan ini hujan masih jauh seperti jarak Laut Cina Selatan dan bukit Maras. Mendung masih saja bersembunyi. Banyak perigi di kampung kami mengalami krisis air. Air dari PDAM hanya mengucur pagi hari. Itu pun dengan kuantitas belasan liter. Sedangkan kualitas air, bernoda. Tak pelak paman mencak-mencak. Aneh daerah kalian ini, kata paman. Orang-orang PDAM tidak mengerti soal melayani masyarakat! Dulu, tahun 1980-an, juga pernah musim kemarau panjang. Aku dan ayahmu mencari air di kolong-kolong2). Bagus kualitasnya! Apa sekarang semuaaaaaa kolong sudah tercemar oleh TI3) ? Aku tidak percaya!
Lalu paman menyuruh saya mengeluarkan sepeda motor. “Kita mencari kolong yang berair jernih!” Kebetulan waktu itu saya tidak bekerja pasca penangkapan bos smelter4). Smelter kami tutup selama waktu yang belum bisa dipastikan selama masa penahanan bos saya belum jelas kapan berakhirnya. Mana motor saya masih kredit, masih harus bayar dua tahun lagi.
***
Di luar kampung Sri Pemandang Pucuk, kemarau pun belum ada jeda.
Paman masih ingat jalan-jalan dan letak kolong-kolong. Ia yang mengemudikan motor saya. Nostalgia naik motor, katanya. Ia sempat menggeleng-geleng ketika menyaksikan bertebarannya tambang-tambang timah rakyat di pinggir sepanjang jalan. Aliran sungai kecil tampak seperti aliran kopi susu. Tidak sedikit pepohonan kering kerontang. Juga sisa semak-semak terbakar.
Tidak sampai lima kilometer dari kampung kami, paman dan saya tiba di sebuah kolong setelah melalui jalan tembus berupa jejak roda mobil yang tak lagi sudi ditinggali rerumputan. “Apa kubilang, Ji?!”
Benar. Kolong itu menampung air yang jelas sekali memantulkan langit biru lapang, matahari garang, pepohonan, bangau-bangau putih, bayang-bayang sebatang pohon yang tenggelam, dan tanaman dalam air yang hijau. Sungguh luas sekali, meski saya tidak berani memperkirakan berapa luasnya. Serombongan wanita – ibu-ibu dan perempuan muda – tampak menuruni salah satu tebing landai sembari membawa ember. Di sana terdapat susunan papan yang biasa dipakai untuk mencuci dan mandi.
***
Langit kampung Sri Pemandang Pucuk bertabur bintang.
Di ruang keluarga, paman mengajak saya berhitung. Mulai dari beli mobil pick up, tangki air, pipa, pompa, dan lain-lain. “Kita bisnis air, Ji!” kata paman antusias. Saya melongo. Otak bisnisnya tidak mau berhenti di saat saya dan orang-orang kampung kami tengah kehilangan akal akibat diganyang kemarau berkepanjangan.
Tapi menurut ayah, kami tidak usah beli mobil pick up. Sewa saja mobil Udin, abang angkat saya. Mobil itu jarang dipakai karena, kata anak-anaknya, jelek dan tidak ber-AC. Udin juga jarang sekali mau pakai semenjak sering masuk bengkel gara-gara tidak diurus oleh kakak iparnya yang hanya bisa pakai tapi tidak mau merawatnya. Udin sudah beli mobil baru. Dan anak-anaknya pun sudah dibelikan sepeda motor baru. Jadi, tinggal menanyakan harga sewa per hari berapa.
Segera saya hubungi abang angkat. Dia tinggal di Koba, yang berjarak hampir 100 kilometer dari kampung kami. Setahuku mobil pick up-nya selalu berada di rumah kakak iparnya, yang letaknya tidak sampai dua kilometer dari rumah kami. Memang, di samping memiliki rumah sekaligus dekat tempat kerjanya, abang angkat masih memiliki rumah di beberapa tempat, baik di Sungailiat maupun Pangkalpinang. Hasil dari penambangan timah rakyat, kata abang angkat.
***
Matahari masih jinak menyiram sinarnya ke penjuru kampung Sri Pemandang Pucuk.
Kopi di meja makan tinggal ampasnya tatkala saya dan paman berangkat ke kotamadya yang berjarak sekitar 35 kilometer dari kampung kami. Paman mengajak saya belanja ini-itu ke Pangkalpinang seperti yang telah kami rencanakan. Di samping barang-barang lebih lengkap, harga barang-barang di sana juga lebih murah dibanding harga di kota kabupaten kami. Kalau membeli banyak, perbedaan harganya lebih terasa.
Nyaris di sepanjang jalan menuju kotamadya tersapu kabut asap. Beberapa semak di sekitar pinggir jalan dibakar. Selain itu, entah hutan mana, juga mengalirkan asap hingga ke jalan yang kami lewati. Mobil menembus kabut putih pekat dengan kecepatan rendah. Lampu mobil terus menyala. Menurut pengalaman paman selama di Kalimantan, kebakaran hutan adalah kesengajaan. Bukan akibat kemarau. Bukan ulah kejahilan alam. Berarti di sini pun karena kesengajaan, Man? “Bisa jadi begitu,” jawab paman sambil tetap berkonsentrasi memegang stir dan mengawasi jalan berkabut pekat.
***
Nyamuk malaria juga mengamuk di kampung Sri Pemandang Pucuk.
Saya terbaring lemas di ranjang meski matahari telah melongok di jendela kamar saya. Saya tidak tahu, apakah saya masih mengantuk gara-gara begadang semalam suntuk dengan kawan-kawan di persimpangan jalan kampung kami, ataukah memang sedang dilanda malas. Tapi saya merasa kepala saya membengkak dan pening. Suhu kamar terasa dingin sekali. Selimut tebal emak saya saja masih kurang hangat. Maka sprei pun saya pakai untuk membungkus tubuh saya. Kata emak, suhu tubuh saya agak panas.
“Jangan-jangan karena penunggu kolong itu marah,” kata ayah. Memang ayah saya, seperti kebanyakan orang-orang tua di kampung kami, masih percaya pada hal-hal gaib. “Jangan-jangan Oji kena malaria?” timpal emak. Entahlah. Mungkin nanti siang saya akan memeriksakan diri ke rumah sakit Medika Stania, tempat istri kakak angkat saya lainnya bekerja. Istri kakak angkat saya, seorang kepala perawat, bisa mendiagnosis suatu penyakit yang bersifat umum semacam demam biasa atau malaria.
“Belum satu minggu kita kerja, kau telah malas-malasan,” komentar paman. Ia telah bersiap-siap hendak berangkat ke kolong. Semenjak bisnis air lancar, paman kelihatan bersemangat sekali. “Bangkit, Anak muda! Siapkan dirimu mengambil berkah-berkah surgawi itu! Danau duit telah menunggu kita sejak semalam. Jangan mau ditipu malas. Ingat, sekarang pun waktunya para bidadari mandi. Bagaimana, Saroji?”
Saya bergeming dengan pikiran kosong. Telinga saya seakan hanya pelengkap kepala. Rasa dingin dan pening lebih menguasai saya daripada bayang-bayang telaga uang dan tubuh-tubuh telanjang para bidadari yang paman iming-imingkan itu.
Maka pagi itu paman berangkat sendirian. Apa boleh buat. Mungkin bekerja bisa membuat paman kembali muda. Atau mungkin malah telah terpesona oleh para wanita yang sedang mandi dan mencuci di kolong sana. Jangan-jangan sedang puber kedua?
***
Rumah sakit Medika Stania, satu setengah kilometer dari kampung Sri Pemandang Pucuk.
Sayup-sayup terdengar orang sedang ngobrol di luar. Suara mereka, meski lirih, tetap mampu menyelinap di sela-sela jendela dekat saya terbaring di ranjang besi sebuah ruang rawat-inap. Sebotol infus tergantung di samping ranjang dengan ujung selang berjarum menembus aliran darah saya. Badan saya lemas tapi perasaan dan pikiran saya tidak mau berhenti berkelana. Barangkali suasana di sini tidak seperti di kamar saya yang lebih sering terdengar ocehan burung liar atau kotek ayam.
Waktu nyaris tengah hari, istri kakak angkat saya masuk dengan seragam perawatnya yang putih bersih. Senyumnya menyeruak di kedua kelopak mata saya. Sapaan lembutnya membuat saya bersyukur memiliki kakak ipar angkat seperti dia. Ya, sejak tadi pagi saya masuk rumah sakit, dia jadi tambah sibuk mengurusi saya. Mungkin kali ini kesempatan baginya untuk merawat saya karena dulu suaminya, kakak angkat saya, ketika bujang tinggal di rumah kami selama delapan tahun. Ayah telah menganggap anak sendiri. Sekolah dan uang saku ditanggung oleh orangtua saya. Pada waktu pernikahan mereka pun orangtua saya menjadi walinya sebab orangtua kandung kakak angkat saya tinggal di Malang, tidak bisa datang. Apalagi kedua anak mereka kini kuliah di Surabaya.
Lalu dia memeriksa kondisi badan saya, cairan dan aliran infus, dan obat-obat yang berada di meja. Setelah segalanya rampung, perlahan-lahan dia bilang, “Paman juga masuk rumah sakit ini, Ji.” Saya agak terkejut. Kenapa? Malah saya hampir nyerocos, pasti paman ketularan malas, jika dia tidak melanjutkan, “Tadi pagi paman diserang buaya di kolong.” Alangkah terkejutnya saya. Terus, bagaimana kondisi paman, Mbak?
“Tuhan telah memanggilnya pulang,” sebutnya pelan.
***
Senja keemasan melambai-lambai di ufuk barat kampung Sri Pemandang Pucuk.
Oktober ini seolah sedang mencatatkan cerita berikutnya setelah duka tengah melanda rumah kami. Empat orang polisi datang, disambut ayah dan kakak saya. Emak dan saudara-saudara tengah sibuk melayani para pelayat. Salah seorang dari mereka menanyakan nama paman saya dan apakah ia berada di rumah kami.
“Benar,” jawab ayah. “Tapi…”
Semula ayah mengira keempat polisi tersebut hendak mengusut kejadian naas yang dialami oleh paman. Bahkan ayah sempat mengharapkan bapak-bapak aparat penegak hukum itu mau mengusut tuntas kematian paman; apakah karena faktor nasib alias kecelakaan, ataukah memang ada orang yang iri lalu membawa paman ke kolong yang banyak buaya. Tidak mustahil kemarau yang ganas bisa merasuki jiwa-jiwa manusia yang tengah frustasi menghadapi krisis air dan timah, kata ayah.
Lantas polisi itu memberi tahu, paman kami itu sudah lama dicari polisi bahkan sampai ke pusat, terkait kasus illegal logging dan korupsi milyaran rupiah atas dana reboisasi hutan di beberapa daerah di Kalimantan.
Malam harinya berita itu pun sampai ke telinga saya ketika ayah, emak, kakak, dan adik-adik menjenguk saya di rumah sakit. Barangkali kemarau akan berlangsung lama di rumah dan kampung kami.
********
Gang Jablay, Oktober 2006
Keterangan :
1) Sekolah itu sudah tutup sebelum tahun 1990 karena kekurangan siswa sejak PT Timah tidak lagi menerima karyawan dari tamatan STM. Padahal dulu sekolah tersebut sangat terkenal, dan lulusan selalu ditampung oleh PT Timah ketika masih jaya dengan nama UPTB (Unit Penambangan Timah Bangka).
2) Lubang bekas penggalian timah yang dialiri air sungai.
3) Tambang Inkonvensional, penambangan timah milik rakyat
4) Tempat peleburan bijih timah
(www.sinarharapan.co.id/berita/0903/07/bud01.html)