(dimuat di Harian SUARA
MERDEKA, Minggu, 22 September 2013)
Ketika saya baru menguak gerbang pagar depan, baru
selebar satu meteran, anjing kami langsung menyelonong. Di jalan baru satu-dua
motor yang melintas di jalan aspal, dan di langit matahari masih malas berbagi
terang dan hangatnya. Sementara motor istri saya sedang
dipanasi mesinnya di teras samping.
Begitu sampai di luar, ia menggonggong lantas
mengejar sebuah motor yang lewat. Serta-merta saya membentaknya, “Rambo!” Saya
khawatir kalau Rambo menggigit kaki si
pengendara atau orang yang diboncengnya.
Rambo berbelok ke arah gerbang lagi dengan buntut
yang ditekuk menutupi pantatnya. Ia mendekati saya dengan muka tertunduk,
sebentar menggeleng, dan buntutnya kipas-kapis. Segera saya menyuruhnya kembali
ke teras.
*
Rambo adalah nama pemberian mertua saya untuk anjing
kami itu. Anjing jantan, kekar, berbulu coklat merata, matanya jingga apabila
tersorot cahaya pada malam hari, dan dari jenis anjing kampung. Ia anjing
terakhir yang kami miliki setelah induknya mati tua, dan lima saudara
kembarannya diambil oleh kawan-kawan istri saya.
Saya, apalagi istri saya, tidak mau memelihara
anjing betina lagi karena, dari pengalaman adanya induk si Rambo, musim kawin
anjing merupakan bencana bagi bunga-bunga kami. Sudah suara mereka yang cukup
gaduh, ditambah dengan ulah serudak-seruduk
semasa berebut mengawini induknya Rambo.
Pada musim kawin itu
pot-pot kami berantakan. Anjing-anjing datang. Anjing dari keluarga toko Ajin,
toko Alun, toko Bong Acit, Anemer Atung, Achiang si pengusaha tahu, dan
lain-lain. Anjing-anjing itu menerobos sela-sela pagar tanaman (daun
mangkok-mangkok, kenikir, teh-tehan, bambu jepang, dan lain-lain).
Anjing-anjing jantan itu berebutan seolah anjing kami adalah anjing tercantik
di dunia.
Selama beberapa hari, terutama pagi hari, selalu
saja saya harus membereskan pot-pot yang bergelimpangan dan isinya tumpah-ruah.
Tak ayal istri saya akan mengomel habis-habisan. Pasalnya, bunga-bunga itu
bukan sekadar menjadi penghias halaman, melainkan juga kami bisniskan. Sebagian
kami jual, dan sebagian lagi kami sewakan.
Kini tinggal Rambo. Tapi, ketika berusia
enam bulan dalam ukuran waktu manusia, Rambo memulai kebiasaannya. Mengejar
motor lewat di jalan depan rumah pada saat di antara kami akan pergi naik
motor. Ia akan mendahului berada ke jalan, menggonggong sekaligus mengusir
kendaraan yang lewat seolah membuka jalan bagi kami dan tidak boleh ada motor
lain di jalan depan rumah kami, baik dari jantung kota Sungailiat menuju Pemali,
Pohin lantas ke Mentok, Bangka Barat maupun dari arah sebaliknya.
Meskipun belum pernah terlibat kawin massal,
keberadaan Rambo yang sudah lebih satu tahun di rumah kami, gelagatnya cukup
mencemaskan, khususnya menurut istri saya. Pasalnya, Rambo telah membuat
orang-orang enggan datang, baik hendak membeli baju atau kain maupun membeli
atau menyewa bunga kami.
Karena itulah istri saya terpaksa berjualan keliling
dengan sistem kredit, sekalian bisa bergosip dengan kawan-kawannya. Sedangkan
saya bertugas di rumah. Melayani calon pembeli produk usaha kami. Di samping
itu kami menambahi usaha pengadaan es batu, yang kebetulan bisa melayani
dua-tiga warung di seberang jalan depan rumah kami.
*
Kampung tinggal kami, Sri Pemandang Pucuk, bukanlah
kampung yang aman dari santronan maling, terlebih anjloknya harga timah sejak beberapa
tahun terakhir. Nyaris seluruh rumah sudah pernah dijamah maling.
Apakah tidak ada orang yang ronda atau
bersiskamling? Sama sekali tidak ada. Gardu rondanya, apalagi. Informasi
seputar ronda dan siskamling hanya kami lihat di televisi, dan seringnya berita
dari Jawa.
Mayoritas orang kampung kami adalah muslim, dan,
tentu saja, tidak memelihara anjing. Najis, kata mereka. Demi rasa aman, jendela
dan pintu rumah-rumah tetangga, termasuk rumah kami, dilengkapi dengan teralis
dan pintu teralis.
Kendatipun begitu sekaligus memelihara anjing, saya
pun sempat memelihara sepasang angsa dan pernah satu kali bertelor. Masalahnya,
angsa suka menyantap daun-daun tanaman kami, termasuk bunga-bunga. Pernah saya
buatkan kandang untuk bunga-bunga kami tetapi halaman depan rumah justru tampak
kumuh. Lain itu, suara ributnya ketika diajak bermain anjing kami. Telor angsa
pun tidak bertahan lama karena digasak biawak.
*
Pada suatu siang matahari begitu beringas memanasi
kampung. Jaenab, salah seorang pemilik warung makanan ringan di depan seberang
rumah, datang untuk membeli es batu.
Ketika berada di muka gerbang, dia berteriak-teriak memanggil
saya yang kebetulan sedang membuang air kecil. Justru di teras Rambo-lah yang
menyambutnya dengan gonggongan yang nyalang. Saya percepat prosesi alamiah itu
dan segera menuju gerbang. Tak lupa pula saya perintahkan Rambo diam di tempat.
Biasanya Jaenab cukup mengirim pesan singkat via
ponsel dan saya sendiri yang mengantarkan es batu pesanannya. Kali ini malah
datang sendiri, membeli es batu sebanyak empat bungkus. “Kehabisan pulsa, Bang
Oji,” jawab Jaenab dari depan gerbang.
Saya langsung berbalik ke dalam, disusul oleh Rambo,
dan mengambil empat bungkus es batu. Setelah itu saya antarkan ke Jaenab yang
sedang menunggu di sana. Lagi-lagi Rambo mengikuti saya.
Jarak antara saya dan Jaenab tinggal dua meter saja,
tiba-tiba Rambo menyelonong dan, hap! Kaki kanan Jaenab, yang kebetulan bercelana
panjang tanggung alias sekitar lima sentimeter di bawah lutut, digigitnya. Kejadiannya tepat di depan mata saya. Seketika Jaenab
berteriak-teriak kesakitan, saya terkejut sekaligus membentak Rambo.
*
Azan Asar sudah lewat setengah jam lalu. Setelah
menghubungi saya supaya Rambo tidak seenaknya mengolah moncong, tiga orang
kampung datang. Pak RT Samsuddin, dan dua pemuda yang bernama Fikri dan Manaf.
Kedatangan ketiga tetangga ini, tentu saja, dalam
rangka penyelesaian masalah fatal dilakukan oleh Rambo, dan dialami oleh Jaenab
tadi siang. Memang, tadi siang saya segera membawa Jaenab ke rumah sakit agar
tidak terjadi hal-hal yang lebih parah lagi. Saya juga sempat meminta maaf
kepada keluarga Jaenab, dan memberi uang untuk biaya berobat lagi.
Namun, masalah tidak cukup selesai sampai di situ.
Rambo ternyata sudah sering meresahkan orang-orang kampung kami. Beberapa hal
yang luput dari pengetahuan saya, Rambo pernah hendak menggigit anak tetangga
yang sedang mengejar layang-layang putus di belakang rumah kami.
Rambo juga pernah
menyebabkan kecelakaan di depan rumah saya lantaran seorang pengendara tidak
mampu mengendalikan motornya karena panik dikejar
Rambo, dan lain-lainnya, termasuk Rambo kencing sembarangan di rerumputan
pinggir jalan, dan itu sangat najis.
Kedatangan tiga tetangga kami ini dimanfaatkan pula
oleh istri saya, yang mengusulkan supaya Rambo dipensiunkan dini saja gara-gara
tingkah-lakunya yang sudah terbilang “siaga 1”. Ditimpali lagi oleh Manaf,
“Nah, istrimu saja sudah tidak kuat menerima ulah Rambo, Ji.”
Saya malah berpikir, kalau Rambo tidak ada,
bagaimana dengan keamanan di rumah kami. Apabila terjadi kemalingan, siapa yang
wajib dipersalahkan dan bertanggung jawab. Padahal selama ini, ketika rumah
kami kosong karena banyaknya acara di luar, semisal saya ikut terlibat dalam
pameran bunga di Taman Hiburan Rakyat Batin Tikal, hanya Rambo yang bisa
diandalkan untuk mengamankan rumah dan bunga-bunga kami.
*
Saya sudah tidak asing melihat seekor anjing
tergeletak tanpa detak jantung. Seekor anak anjing kami pernah begitu, tanpa
jejak kekerasan dan darah, di dekat pagar rumah. Ada juga anjing kami yang
ditabrak orang, alias korban tabrak-lari. Ada lagi yang dikerjain, dengan bekas lilitan kawat di sekujur kaki. Belum lagi
batu-batu sekepalan tangan berserakan di teras pada beberapa pagi, hasil
‘kerajinan’ tangan beberapa remaja ketika malam.
Pagi ini anjing terakhir kami akan dieksekusi. Ia
akan dipaksa menemui ajalnya. Tadi pagi, sebelum berangkat keliling kampung
lain, istri saya menghubungi dua sepupunya, Udik dan Tonyol, yang suka berpesta
daging anjing bersama kawan-kawannya, serta yang dari
Kampung Jawa.
Saya tidak sanggup membayangkan apalagi melihatnya
ketika kedua sepupu datang, dan merayu-rayu anjing kami untuk masuk ke jebakan
berupa tali tambang sebesar kelingking. Begitu keduanya datang, saya langsung keluar
rumah hingga keduanya mengabari bahwa proses eksekusi sudah sukses dilaksanakan
dan kunci rumah diselipkan di salah satu pot.
*
Udara beraroma basah dalam remang lepas subuh. Beberapa
kali terdengar suara lantang ayam jantan sembari menepuk angin di cabang pohon
belimbing di kandang belakang rumah kami.
Saya terbangun, dan berniat membuat secangkir kopi
bangka sebelum matahari pagi menghisap seluruh embun di dedaunan bunga. Pada
saat itu saya merasa suasana yang sangat lengang. Saya seperti kehilangan salah
satu anggota keluarga.
Biasanya, sedikit mendengar suara pintu
terbuka dari arah dalam, Rambo langsung menggaruk-garuk pintu samping sembari
menggonggong lirih. Biasalah, minta camilan sebagai
bonus atas pekerjaannya.
Sruk! Sruk! Sruk! Suara garukan khasnya tiba-tiba kembali
mengusik telinga saya. Seketika bulu kuduk saya berdiri.
*******
Balikpapan, Juli 2013